Menangkap Sarang Angin
Alangkah elok dan digdaya bisa menangkap sarang angin. Elok, karena perbuatan itu memiliki anasir keindahan, menyimpang dari rutinitas yang melelahkan. Digdaya, karena untuk menangkapnya butuh kesaktian dan ilmu tinggi. Kepandaian yang tak tertandingi.
Dalam konteks kehidupan riil, menangkap sarang angin diartikan sebagai penjelajahan metafora dan imajinasi, yang berfungsi memperkaya totalitas hidup lahiriah (ragawi) dan batiniah (rohani) sehingga hidup tidak kerontang. Metafora dan imajinasi positif membuahkan daya, ambisi, keyakinan, untuk berbuat dan menciptakan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi terwujudnya pranata kehidupan sosial masyarakat yang beradab.
Dalam dunia pewayangan, siapa yang tak mengenal Bima, orang kedua dari lima Pandawa? Pada suatu pertemuan agung kerajaan Hastina Pura yang dihadiri seluruh kerabat Barata dari pihak Pandawa dan Kurawa, Bima diperintah gurunya, Durna, untuk menangkap sarang angin. Ini adalah ujian kedua setelah ujian pertama, mencari air suci di dasar samudra berhasil didapat.
Sebagai ksatria jujur, lugu, gagah berani, dan taat, perintah Guru Durna ia laksanakan. Durna tahu persis, muridnya yang satu ini akan mampu mengatasi ujian berat . Bima punya aura putih kebiruan berpendar-pendar mengelilingi badan wadagnya. Suatu tanda kemenangan dan keselamatan dari para dewa.
Pada ujian pertama, di tengah samudra Bima dihadang ular besar. Lewat pertarungan seru, ular itu takluk . Bahkan, ular itu memberi kesaktian kepada Bima bisa menyelam ke dasar samudra dan bertemu Dewa Ruci. Bima diperintah masuk ke lubang telinga Dewa Ruci untuk menemukan air suci yang dicarinya.
Dalam filosofi Jawa, peristiwa itu disebut "ngrogoh sukma", yang diartikan sebagai dialog badan ragawi dengan rohani. Ngrogoh sukma juga bisa diartikan sebagai munculnya daya hidup imajinasi , yang memberi peluang hadirnya ruang kehidupan spiritual melahirkan konsep-konsep pembaruan inovatif.
Adegan tak biasa ini sejalan dengan cita rasa harmoni kehidupan kemanusiaan seutuhnya untuk lebih kreatif memerangi kemandekan gagasan , kemungkaran dan hidup remeh-temeh.
Penyatuan diri
Menangkap sarang angin juga dilaksanakan Bima. Namun, sejatinya ia telah memiliki pemahaman batin dari pengalaman mencari air suci. Suatu pengalaman menyatukan diri secara total jasmani dan rohani, dalam wujud Bima dan Dewa Ruci di dasar samudra.
Saat menangkap sarang angin, Bima yang bertubuh gempal dan besar melesat menyongsong gerak angin yang menderu, menangkap suara-suara, memilah gelombang udara panas dan dingin. Melebur diri bersama molekul jagat raya.
Dalam realitas yang terlihat mata telanjang, Bima terpekur semadi, jauh dari penglihatan Kurawa. Mata batinnya mengembara ke medan kehidupan tak berbatas. Berimajinasi. Melakukan penjelajahan rohani, mengurai segala bentuk inovasi untuk keperluan pembaruan yang dibutuhkan dalam kemanusiaan.
Dalam lakon pewayangan "Balik Segala-gala", Bima dibimbing dan diangkut angin yang menderu sampai ke sarangnya. Sarang angin itu ditangkapnya. Sarang angin itu bernama Batara Bayu, salah satu dewa pewayangan yang kemudian menjadi ayah angkat Bima. Sebagai tanda cinta, Batara Bayu menganugerahi senjata azimat Kuku Pancanaka. Ketika hendak melakukan sesuatu yang bermartabat atau membela sesama, Bima senantiasa mengacungkan kuku saktinya. Maka, dalam sekejap gunung dilangkahi dan lautan diseberangi.
Menangkap sarang angin sesungguhnya merupakan kekayaan metafora dari kedalaman imajinasi yang mampu menggugah daya hidup spiritualitas untuk melakukan pembaruan-pembaruan hidup. Cerita pewayangan ini cocok ditransformasikan ke kilas sejarah bumi Nusantara yang padat kompleksitas hidup. Setidaknya bisa menjadi bandingan kelakuan baik dan buruk. Ada kandungan filosofis yang identik dalam mencari dan menemukan nilai-nilai bermanfaat untuk mengelola tata kehidupan yang tidak semata-mata ragawi, egois, dangkal, degradatif, imitatif, sampai ke perilaku paling kasar dan kriminal agar hidup tidak stagnan, sia-sia dan aniaya.
Menangkap sarang angin patut diartikan sebagai sarana kunci (paugeran/bahasa Jawa) tatanan hidup masyarakat yang majemuk dan religius. Di sana terdapat timbang-rasa sebelum memutuskan suatu tindakan.
Hidup tidak melulu untuk diri sendiri atau kelompok, tetapi untuk keluhuran kemanusiaan semua orang. Sebagaimana Bima dan saudara-saudaranya di kemudian hari, saat perang Baratayudha, sanggup memenangkan kebenaran dan hak.
Tiga peristiwa
Pada tataran historik empirik dengan alinea di atas, ada tiga peristiwa dahsyat Nusantara yang menurut hemat penulis menarik. Tiga peristiwa itu antara lain tentang kisah Mahapatih Gajah Mada di abad ke-13, Ir Soekarno dan Moh Hatta di abad ke-20 , dan Ir Joko Widodo di abad ke-21.
Mahapatih Gajah Mada sukses mempersatukan Nusantara di bawah kendali Majapahit melalui sebuah sumpah "Hamukti Palapa". Keberhasilan ini diperoleh tidak tanpa ujian berat. Beberapa perwira dan petinggi Majapahit sendiri ada yang menaruh syak dan cemooh, menganggapnya melakukan pencitraan di tengah sidang pleno Majapahit.
Menyatukan ratusan kerajaan di Nusantara (dari Papua sampai ke Tumasek/Singapura) yang menjadi obsesi politik pemerintahannya (dan berhasil) merupakan pembuktian sejarah betapa berwibawa dan agung nilai kesatuan yang terbentuk antara intelegensi dan imajinasi dalam melahirkan konsep-konsep ketatanegaraan yang mumpuni.
Dalam hal ini kekuatan imajinasi diyakini terlalu penting untuk mendorong ambisi mulia Gajah Mada menyatukan Nusantara di bawah kendali Majapahit. Untuk tujuan mulia itu, Gajah Mada membangun kekuatan maritim dengan armada laut yang dahsyat dan menjaga keutuhan kesatuan rakyatnya di daratan.
Di abad ke-20, Ir Soekarno dan Moh Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Jepang dan Belanda. Ambisi, mimpi, imajinasi dipadukan dengan kekuatan intelektualitas dan tenaga untuk memerdekakan Indonesia. Ini juga suatu peristiwa dahsyat dan tidak mudah karena banyak korban dan penderitaan yang dialami para pemuda pejuang atas keinginan merdeka ini.
Sikap heroik, patriotis, dan nasionalis akhirnya berbuah 17 Agustus 1945. Mirip kisah kaum Pendawa, pemilik resmi kerajaan Hastina, yang terusir dan harus merebutnya kembali melalui Baratayudha. Semangat memerdekakan Indonesia dirintis sejak l908 dengan dicanangkannya Kebangkitan Nasional oleh para pemuda saat itu. Semangat perintisan l908 ini menjadi ide dasar, ambisi, dan imajinasi betapa merdeka itu keniscayaan menuju kesejahteraan. Maka, keinginan bulat untuk merdeka dan berdaulat adalah prinsip. Terjadilah perburuan menangkap sarang angin itu. Dikumandangkan lewat ikrar puitis Sumpah Pemuda 1928. Jati diri sebagai manusia yang berkehendak melakukan pembaruan, inovasi, menuju masyarakat bangsa bermartabat pada akhirnya memperoleh momentum yang begitu elok dan diberkati Allah Yang Maha Kuasa. Kemerdekaan Indonesia berkumandang melalui Ir Soekarno.
Memasuki abad ke-21, ketika Ir Joko Widodo menjadi presiden ke-7 RI, konsep kepemimpinan nasional yang ia terapkan mirip dengan konsep kepemimpinan Mahapatih Gajah Mada. Pada salah satu tekad kerja inovatifnya, Presiden yang "menggelar" pelantikannya dengan naik kereta kencana pinjaman dari Keraton Surakarta Hadiningrat berkukuh membuat tol laut. Jelas betul, ia tak ingin mengandalkan hanya pada kekuatan daratan sebagai basis kesejahteraan dan keamanan semesta untuk mengayomi seluruh rakyat Indonesia.
Tol laut yang jadi obsesi dan tekad kerja inovasi Jokowi jelas merupakan jaringan kekuatan antarpulau yang nantinya menjadi kunci harapan segenap bangsa Indonesia untuk menapak ke kesejahteraan hidup yang setara, kemakmuran yang sama, dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika.
Berbasis kelautan
Basis kelautan yang kuat sebagai negara maritim akan mampu memperpendek jarak komunikasi antarmasyarakat serta memudahkan hubungan sosial ekonomi dan interaksi antarwarga bangsa. Bahkan, kekayaan laut pun bisa dieksplorasi lebih nyata dengan dibangunnya dermaga-dermaga berkelas dunia.
Dengan begitu kekuatan hidup bernegara berdasarkan hukum yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, dan keutuhan bangsa di ribuan pulau dari Sabang hingga Merauke, bisa terjalin kokoh. Sebagaimana sukses dan keberhasilan Mahapatih Gajah Mada di abad ke-13 menyatukan Nusantara, Presiden Jokowi dengan tol laut dan konsep kemaritimannya dapat mempercepat Indonesia menemukan kesentosaan, kesejahteraan, dan kerukunan seluruh warga bangsa Indonesia, di mana pun berada.
Ide dan imajinasi kepemimpinan yang padat martabat dan berbudaya patut didukung sepenuhnya serta masih harus terus dieksplorasi secara kreatif dan inovatif. Namun, itu saja tak cukup. Diperlukan juga kecermatan tindakan dan kehati-hatian. Pantas pula waspada terhadap gangguan dan rongrongan yang banyak menyimpan minus.
Sri Warso Wahono
Pelukis dan Budayawan; Ketua Komite SR dan Sekretaris Dewan Kesenian Jakarta 1985-1996; Konsultan Artistik PKJ TIM 2005-2015