Dewan Perwakilan Rakyat tentunya bukanlah Dewan Perwakilan Koruptor. ”Yang terhormat” wakil rakyat itu dibayar oleh uang rakyat.
Rencana Panitia Angket DPR untuk KPK bersafari menemui terpidana korupsi di sejumlah lembaga pemasyarakatan di Indonesia sungguh mengusik keadilan warga negara, para pembayar pajak. Seperti dikatakan Wakil Ketua Panitia Angket Risa Mariska dari Fraksi PDI-P, ”Panitia Angket ingin menggali informasi mengenai apa yang mereka rasakan selama menjadi saksi, tersangka, dan terpidana kasus korupsi.” Risa adalah wakil rakyat dari daerah pemilihan Jawa Barat VI, yang melingkupi Kabupaten Bogor dan Bekasi dan mendapatkan 25.578 suara di daerah pemilihannya.
Sangat mudah menemui para koruptor di penjara. Mereka pun akan sangat gembira dan sukacita bercerita kepada Panitia Angket soal perlakuan KPK selama menjalani pemeriksaan, selama di tahanan, merasa jadi korban konspirasi, merasa dijebak, dan sejumlah perlakuan tidak manusiawi.
Dengan data itu, Panitia Angket yang dimotori partai koalisi pendukung pemerintah akan mendapatkan amunisi mendekonstruksi lembaga antirasuah. Tujuan angket paling tidak bisa dibaca dari pernyataan Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR dari Fraksi PKS, adalah meninjau ulang komisi negara, seperti KPK. Meninjau ulang sama dengan membubarkan KPK atau memereteli kewenangan KPK atau menjadikan KPK sebagai lembaga ad hoc.
Target Panitia Angket sebenarnya sudah bisa dibaca, yakni bagaimana memandulkan KPK. Pernyataan sejumlah politisi bahwa Panitia Angket untuk memperkuat KPK sama sekali tidak punya bukti empiris. Sejak awal, sejumlah politisi DPR sudah gerah terhadap kiprah KPK membasmi korupsi di negeri ini. Sejumlah anggota DPR diadili, ketua umum partai ditangkapi, begitu juga pengusaha. KPK memang bukan tanpa kesalahan. Namun, cara mengoreksinya bukanlah dengan menggunakan hak angket yang legitimasinya masih jadi persoalan.
Panitia Angket seharusnya menyadari bahwa mereka adalah wakil rakyat, bukan wakil koruptor. Perilaku korupsi penyelenggara negara telah mengakibatkan pelanggaran hak sosial ekonomi masyarakat. Perilaku hakim konstitusi yang memperjualbelikan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memperkaya diri merupakan pengkhianatan terhadap hukum. Korban dari perilaku korupsi inilah yang seharusnya didengar Panitia Angket, bukan koruptornya.
Sayang memang, Presiden Joko Widodo terlalu miskin dalam narasi untuk membela KPK. Presiden Jokowi hanya mengatakan ingin memperkuat KPK. Namun, Presiden Jokowi tak bisa mencampuri urusan angket karena hal itu hak konstitusional DPR. Padahal, arah dari Panitia Angket sudah bisa dibaca untuk mendelegitimasi KPK.