logo Kompas.id
OpiniMasa Depan Arab Saudi
Iklan

Masa Depan Arab Saudi

Oleh
Zuhairi Misrawi
· 6 menit baca

Raja Salman bin Abdul Aziz secara mengejutkan mengangkat Muhammad bin Salman sebagai putra mahkota, menggantikan Muhammad bin Nayef. Pengangkatan terbilang mulus karena secara aklamasi dipilih di Lembaga Baiat yang memberikan suara mutlak 33 suara (dari 34 suara) kepada sang putra raja. Nayef juga legawa menerima keputusan itu. Harian terbesar di Arab Saudi, al-Sharq al-Awsat, menulis di halaman utama, "Warga Arab Saudi Membaiat Muhammad bin Salman sebagai Putra Mahkota". Saat pelantikan di Istana Shafa, Mekkah, jagat Twitter Arab Saudi juga menyatakan dukungan. Karen Elliott House dalam Wall Street Journal menyebut pengangkatan Muhammad bin Salman akan mengakselerasi reformasi sektor ekonomi sekaligus memperkuat hubungan Arab Saudi dengan Amerika Serikat.Artinya, teka-teki masa depan kepemimpinan Arab Saudi sudah terurai jelas. Untuk pertama kali takhta kerajaan akan diduduki putra raja, yang selama ini diduduki saudara raja. Ini bukan pakem suksesi yang semestinya.Terlepas dari kontroversi, transformasi Arab Saudi menurut banyak pihak merupakan sebuah keniscayaan dalam rangka menyongsong masa depan yang lebih cerah. Pasalnya, Arab Saudi sedang menghadapi tantangan masa depan yang tidak mudah. Jika tidak diantisipasi dengan baik, bisa berakibat fatal terhadap masa depan Dinasti al-Saud yang berkuasa selama delapan dekade terakhir.Ada tiga tantangan serius yang dihadapi Arab Saudi saat ini dan masa-masa mendatang. Pertama, anjloknya harga minyak. Selama ini, pendapatan dalam negeri, hampir 80 persen, tergantung dari minyak. Anjloknya harga minyak terus menekan Arab Saudi untuk memikirkan ulang masa depan pendapatan ekonomi mereka. Minyak tidak lagi bisa diandalkan sebagai sumber pendapatan utama di tengah merosotnya harga minyak dan ditemukannya energi terbarukan. Era berfoya-foya harus diakhiri, saatnya memasuki era pengetatan dan penghematan.Untuk mengatasi masalah ini, jauh-jauh hari Muhammad bin Salman sudah menggarisbawahi visi ekonomi 2030. Visinya cukup bombastis karena menegaskan Arab Saudi sebagai negeri tidak tertutup. Arab Saudi terbuka terhadap dunia lain dan siap melakukan modernisasi sesuai tuntutan dunia kontemporer, baik dari dalam maupun luar negeri. Posisi strategisDalam visi 2030, Muhammad bin Salman menyatakan posisi strategis Arab Saudi sebagai jantung umat Islam karena di negara ini terdapat Mekkah sebagai kiblat umat Islam dan Madinah sebagai kota Nabi Muhammad SAW. Arab Saudi akan selalu menjadi perhatian umat Islam karena posisi strategisnya dengan dua kota suci umat Islam (al-haramain al-syarifain).Dalam hal ini, Arab Saudi mempunyai posisi tawar sangat tinggi terhadap dunia Islam, yang umatnya mencapai 1,5 miliar orang. Setidak-tidaknya, prospek di sektor haji dan umrah akan menjadi salah satu pilar penting bagi perekonomian dalam negeri Arab Saudi masa mendatang.Konon, tahun 2030 jumlah wisatawan yang berziarah ke Arab Saudi ditargetkan mencapai 30 juta orang setiap tahun. Jumlah yang tidak mustahil mengingat besarnya animo umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Arab Saudi juga digambarkan sebagai pusat energi dan kekayaan alam lain. Ada emas, uranium, dan lain-lain. Selama ini, Arab Saudi sangat menikmati kekayaan energi dan sumber daya alam lainnya. Bahkan, kekayaan tersebut digunakan sebagai kartu geopolitik. Minyak dapat mendikte Amerika Serikat dan sekutunya karena negara-negara tersebut mempunyai ketergantungan terhadap minyak. Kunjungan historik Raja Salman ke Asia: Malaysia, Indonesia, Brunei, Jepang, dan China, juga dalam rangka memuluskan visi 2030. Arab Saudi sebagai salah satu penghasil minyak terbesar mulai ekspansi kerja sama ekonomi dengan negara-negara Asia, khususnya China, sebagai kekuatan ekonomi terbesar saat ini.Arab Saudi juga menjadi titik hubung dengan dunia luar, terutama Asia, Afrika, dan Eropa. Letak geografis tersebut akan dimanfaatkan untuk memperkuat sektor perekonomian. Dalam hal ini, Arab Saudi ingin seperti Uni Emirat Arab dan Qatar, yang memanfaatkan negaranya sebagai titik-hubung dengan negara-negara Eropa, Asia, dan Afrika, khususnya di sektor penerbangan dan sektor bisnis lainnya.Kedua, bonus demografi kaum muda. Konsekuensi dari modernisasi dunia pendidikan dan beasiswa bagi kaum muda untuk belajar di beberapa perguruan tinggi luar negeri, khususnya kaum perempuan, menyebabkan Arab Saudi mempunyai surplus kaum muda terpelajar.Di satu sisi, Arab Saudi mempunyai sumber daya manusia yang sangat luar biasa, tetapi di sisi lain mereka juga menghadapi fakta pengangguran yang saat ini mencapai 28 persen dari kaum muda yang usianya di antara 20-29 tahun. Padahal, jumlah kaum muda usia di bawah 25 tahun mencapai 45 persen dari total populasi 32 juta orang. Lebih-lebih kaum perempuan yang masih dikekang untuk sekadar menyetir kendaraan, misalnya.Jika potensi tersebut tidak dikelola dengan baik, tidak tertutup kemungkinan akan menjadi bumerang, bahkan bisa menjadi pemantik munculnya ketidakpuasan sebagaimana yang terjadi di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, Suriah, dan Bahrain. Jagat media sosial di Arab Saudi saat ini dapat menjadi salah satu barometer tuntutan kaum muda.Ketiga, munculnya kekuatan baru di Teluk, khususnya Qatar dan kuatnya pengaruh Iran di Timur Tengah. Lebih-lebih setelah ketegangan diplomatik dengan Qatar, peta kekuatan di Timur Tengah berubah drastis. Koalisi Turki, Iran, dan Qatar menjadi kekuatan baru yang tidak bisa dianggap sepele. Belum lagi, dukungan Rusia kepada ketiga negara tersebut.Arab Saudi bersama negara-negara lain di Timur Tengah tidak bisa lagi mendikte kepentingannya terhadap Iran, Qatar, dan Turki. Ketiga negara tersebut mempunyai kesadaran penuh untuk membentuk kekuatan baru di Timur Tengah karena mempunyai kelebihan masing-masing di sektor ekonomi, media, dan militer.Tak bisa didikteArab Saudi bersama sekutunya terus berupaya mendikte Qatar, Turki, dan Iran. Namun, kelihatan sekali langkah Arab Saudi ibarat macan ompong. Ketiga negara tersebut justru mengingatkan Arab Saudi agar tidak mengintervensi kedaulatan negara lain. Itu artinya, Turki, Iran, dan Qatar siap menghadapi berbagai kemungkinan dan hampir bisa dipastikan jika ketiga negara tersebut bersatu, maka Arab Saudi akan bertindak secara militer.Secara populis, posisi Arab Saudi dan sekutunya sangat tidak diuntungkan. Muhammad bin Salman dikenal dekat dengan Amerika Serikat dan Israel yang dianggap musuh bebuyutan publik Timur Tengah. Sementara Turki, Iran, dan Qatar justru bersikap relatif keras terhadap Israel.Maka, tugas Muhammad bin Salman tidak ringan. Secara faktual, Arab Saudi menghadapi dua tantangan sekaligus, tantangan dalam negeri berupa defisit anggaran dan problem pengangguran, serta tantangan luar negeri berupa tumbuhnya kekuatan baru di Timur Tengah: Turki, Iran, dan Qatar. Tantangan-tantangan tersebut harus dikelola dengan baik agar tidak berakibat fatal bagi masa depan Arab Saudi, khususnya Dinasti al-Saud.Ujian pertama kebijakan luar negeri Muhammad bin Salman sebagai Putra Mahkota adalah pemutusan dan pemberian sanksi kepada Qatar. Konon, Putra Mahkota merupakan otak di balik kebijakan yang dianggap banyak pihak sebagai langkah blunder itu. Ini ujian cukup berat. Dalam beberapa hari ke depan, kebijakan luar negeri tersebut diuji: akankah efektif atau justru sebaliknya, menghilangkan wibawa Arab Saudi di mata dunia dan umat Islam.Zuhairi Misrawi Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah, The Middle East Institute

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000