Perseteruan yang dimotori Arab Saudi terhadap Qatar akan berlangsung lama karena Qatar dianggap tidak serius menanggapi tuntutan mereka.
Setelah diberi tambahan waktu dua hari, Qatar tidak menjawab langsung ke-13 tuntutan dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir. Tuntutan itu antara lain memindahkan stasiun televisi Al Jazeera, menutup pangkalan militer Turki, mengurangi kerja sama dengan Iran, dan memutus hubungan dengan kelompok Ikhwanul Muslimin.
Sejak pemutusan hubungan diplomatik pada 4 Juni lalu, Arab Saudi dan kawan-kawan langsung menutup seluruh perbatasan darat dan udaranya dengan Qatar. Padahal, Qatar mengimpor sekitar 90 persen bahan pangan lewat perbatasan darat Arab Saudi. Pemutusan itu dilandasi tuduhan bahwa Qatar mendanai kelompok radikal dan ekstrem.
Di sisi lain, sebuah lembaga pemikir kebijakan luar negeri di Inggris, Henry Jackson Society, menyebut Arab Saudi sebagai kepala promotor kehadiran Islam ekstrem di Inggris. Namun, tuduhan itu dibantah keras oleh Kedutaan Besar Arab Saudi di London.
Sejak krisis diplomasi di kawasan berlangsung, Turki terus menambah pasukan di Qatar. Wajar jika Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan tetap di belakang Qatar meskipun dia tahu Arab Saudi menganggap Qatar tidak serius menjawab tuntutan mereka.
Jawaban tidak serius dari Qatar membuat Arab Saudi dan kawan-kawan berencana memperluas isolasi. Bahkan, Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry menyatakan, darah korban peledakan bom di Mesir tidaklah sia-sia. Presiden Abdel Fatah el-Sisi menuduh kelompok militan yang meledakkan bom di beberapa tempat di Mesir mendapatkan dukungan dana dari Qatar.
Bahkan, Menlu Uni Emirat Arab Abdullah bin Zayed al-Nahyan menegaskan, Qatar hanya peduli pada kehancuran, penghasutan, ekstremisme, dan terorisme daripada memelihara hubungan baik dengan negara tetangga.
Ungkapan bernada permusuhan ini kurang bagus bagi upaya diplomatik yang terus dilakukan oleh banyak negara, termasuk Indonesia dan Amerika Serikat. Meskipun Presiden Donald Trump pernah menyebut Qatar sebagai negara yang mendanai terorisme, Menlu Rex Tillerson mencoba mendinginkan tensi krisis tersebut.
Sebagai eksportir gas terbesar di dunia, dalam keadaan terjepit, Qatar bisa menjadikan hal itu sebagai senjata dan itu akan berpengaruh pada pemulihan ekonomi dunia.
Lembaga pemeringkat Moody’s menetapkan prospek ekonomi Qatar menjadi negatif karena krisis ini berpengaruh pada kekuatan ekonomi dan fiskal Qatar. Jika krisis ini terus bereskalasi dan berlangsung lama, bukan tidak mungkin peta politik kawasan Timur Tengah juga akan berubah.