Bantuan keuangan bagi parpol menimbulkan diskursus politik baru. Keterbatasan anggaran dan perilaku politik partai menjadi dasar perdebatan.
Pemerintah memang berniat untuk menaikkan bantuan partai politik dari Rp 108 per suara per tahun menjadi
Rp 1.000 per suara per tahun. Kenaikan bantuan untuk parpol itu diwacanakan pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Revisi besarnya bantuan itu akan dilakukan melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009.
Dalam situasi anggaran pemerintah yang mepet, pro dan kontra terjadi. Citra dan perilaku partai politik juga ikut mendasari perdebatan. Jika mengacu pada hasil perolehan suara Pemilu 2014 sebanyak 124.972.491 suara, anggaran yang harus dialokasikan pemerintah untuk partai politik sekitar Rp 125 miliar. Melihat betapa pentingnya peran partai politik sebagai pilar demokrasi, besarnya bantuan partai politik dalam jumlah itu masih bisa dimengerti.
Bantuan parpol sebaiknya dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga besarnya ditentukan bersama oleh DPR dan pemerintah. Dengan masuk pada APBN, parpol dituntut untuk lebih transparan dan akuntabel dalam penggunaan dana partai politik. Partai politik harus terbuka untuk audit karena memang ada dana masyarakat yang digunakan partai politik untuk kepentingan mengartikulasikan kepentingan publik, mengagregasikan kepentingan, dan merupakan tempat pengaderan para pemimpin. Besarnya dana pemerintah untuk parpol juga harus ditentukan agar gagasan mengarah pada sistem multipartai sederhana bisa segera mewujud, bukan malah sebaliknya, kian menjamur.
Rencana menaikkan bantuan parpol menjadi Rp 1.000 per suara per tahun bisa dimengerti meski harus diakui resistensi untuk itu akan terjadi. Resistensi akan terjadi justru karena citra dan perilaku partai politik yang masih jauh dari ideal. Di mata publik, citra partai politik dan citra DPR belumlah beranjak baik. Citra parpol yang korup masih menancap di benak publik.
Harus diakui, salah satu fungsi partai politik untuk menyerap dan menyalurkan aspirasi masyarakat belum sepenuhnya bisa berjalan maksimal. Partai politik masih dikelola seperti sebuah perusahaan, dengan ketua umum partai politik dikonstruksikan sebagai pemilik partai politik. Oligarki dalam partai politik telah menyumbat proses demokrasi internal di partai politik.
Seiring dengan rencana menaikkan bantuan partai politik oleh pemerintah, partai politik pun harus berbenah diri, termasuk tidak melakukan korupsi dan mengembangkan demokrasi di tubuh partai politik. Tren demokrasi digital yang mewujud dalam petisi-petisi daring juga harus diantisipasi.