Situasi politik Malaysia membuat mantan Perdana Menteri Mahathir Mohamad akhirnya turun gunung dan membentuk partai baru.
Bergabung dengan mantan Deputi PM Muhyiddin Yassin, Mahathir (91) membentuk Partai Bersatu yang diklaim siap bertarung dalam pemilihan umum berikut, yang paling lambat digelar 24 Agustus 2018. Partai Bersatu telah mendirikan kantor cabang di 165 dari 222 daerah pemilihan, kelebihan yang tak banyak dimiliki partai oposisi lainnya di Malaysia.
Beberapa waktu ini Mahathir kembali aktif tampil di depan publik menyusul skandal korupsi yang dikaitkan dengan pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak. Skandal ini berpusat pada perusahaan pengelola dana investasi negara 1Malaysia Development Berhad (1MDB), yang didirikan Najib saat berkuasa tahun 2009.
Kasus ini terungkap setelah ramai diberitakan media asing, dua tahun lalu, dan sejak itu memanaskan politik Malaysia. Najib berkeras tak melakukan kesalahan meski 1MDB menjadi subyek penyelidikan dugaan pencucian uang di Amerika Serikat, dan sedikitnya lima negara lain.
Tak puas dengan pemerintahan Najib, Mahathir yang pernah 22 tahun menjadi PM Malaysia (1981-2003) pun bergabung dengan para penentang Najib. Muhyiddin Yassin sebelumnya adalah wakil Najib, yang disingkirkan karena dianggap terlalu vokal mengkritisi skandal 1MDB.
Bahkan, Mahathir pun beraliansi dengan Anwar Ibrahim, mantan wakil PM (1993-1998). Padahal, Anwar pernah menjadi seteru utama Mahathir. Adalah Mahathir yang menghentikan karier politik Anwar yang cemerlang pada 1998. Aliansi ini juga didukung Anwar, yang telah memutuskan tak akan maju dalam pemilu. Dia mendorong kelompok oposisi bersatu dengan Mahathir. Hal ini sekali lagi membuktikan, dalam politik tak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan.
Meski telah absen sekian lama, Mahathir masih memiliki dukungan rakyat, terutama di Kedah, daerah asalnya. Ini memperlihatkan adanya kerinduan pada pemerintahan yang dianggap berhasil pada masa lalu, hal yang terjadi jika kinerja pemerintah saat ini tidak memuaskan rakyat.
Pemerintah yang tidak mampu memenuhi janji kampanye juga membuka peluang munculnya pemikiran atau alternatif sistem baru, seperti yang terjadi dengan bangkitnya politisi populis dan gerakan populisme di Eropa. Apakah rakyat Malaysia tetap mendukung pemerintahan Najib Razak, atau berbalik mendukung kubu oposisi yang kini diperkuat Mahathir, akan terlihat dalam pemilu parlemen Malaysia berikutnya.