Di tengah perkiraan turunnya penerimaan negara, pemerintah justru memperlebar defisit anggaran pada RAPBN Perubahan 2017 menjadi 2,92 persen.
Angka yang jauh di atas target dan perkiraan kenaikan sebelumnya ini memunculkan kecemasan karena mendekati batas maksimal yang diatur Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, yakni 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Melanggar batas ini, tidak hanya memunculkan konsekuensi politis bagi pemerintah, tetapi juga potensi kerentanan ekonomi, baik dari sisi fiskal terkait beban utang, risiko nilai tukar, maupun perspektif investor.
Pemerintah sendiri tampaknya sangat yakin realisasi defisit akan jauh di bawah angka yang dipatoknya karena secara alamiah realisasi belanja pemerintah tak mencapai 100 persen pada akhir tahun anggaran. Selain karena melesetnya target penerimaan, khususnya pajak, melebarnya defisit juga akibat membengkaknya subsidi energi karena pemerintah menunda kenaikan harga BBM bersubsidi di tengah naiknya harga minyak mentah dunia.
Salah satu keprihatinan adalah membesarnya defisit juga berkonsekuensi utang membengkak karena defisit ditutup dengan utang. Kalaupun rasio utang terhadap PDB masih aman, nominal utang yang terus membesar memicu kekhawatiran. Untuk menjaga momentum pertumbuhan, pemerintah tak bisa gegabah memangkas defisit. Apalagi di tengah situasi global dan mesin ekonomi domestik yang belum normal, stimulus fiskal tetap dibutuhkan. Pada saat yang sama, pemerintah juga dituntut menyisihkan anggaran untuk menekan kemiskinan dan ketimpangan.
Menkeu sudah bekerja keras menjaga keseimbangan antara fungsi stimulus dan kesinambungan fiskal. Manuver menggenjot penerimaan, termasuk lewat pajak, dibarengi upaya menekan belanja pemerintah, memangkas dana alokasi umum untuk daerah dan anggaran kementerian/lembaga (K/L) yang tak produktif/mendesak.
Mengingat perannya enggerakkan ekonomi ataupun mengatasi ketertinggalan, proyek infrastruktur tidak mungkin direm. Tetapi pemerintah perlu memprioritaskan proyek-proyek berefek ganda tinggi. Pemerintah juga perlu mendorong proyek infrastruktur swasta atau asing, untuk mengurangi beban pembiayaan APBN.
Bagaimana menjaga agar pemangkasan stimulus fiskal tak melukai pertumbuhan ekonomi, merupakan tantangan pemerintah saat ini. Bagaimana agar dengan APBN yang tak seekspansif seperti direncanakan, tak mengganggu upaya penciptaan lapangan kerja dan mengatasi ketimpangan.
Gunting tajam Menkeu tetap diperlukan untuk menyisir dan mempertajam efisiensi. Setiap rupiah tambahan defisit atau utang harus dipastikan berdampak pada penguatan ekonomi nasional dan daya beli masyarakat agar tak muncul tudingan besar pasak daripada tiang, mengelola negara secara ugal-ugalan atau bahkan memicu sinyalemen Indonesia di ambang krisis.