Pertemuan para pemimpin G-20 berakhir dengan sejumlah kesepakatan, terutama menyangkut perdagangan bebas dan investasi yang saling menguntungkan.
Dalam pertemuan Jumat dan Sabtu lalu di Hamburg, Jerman, yang diwarnai aksi demonstrasi memprotes ketidakadilan yang disebabkan kapitalisme global, pernyataan bersama pemimpin G-20 menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran bersama.
Komunike, termasuk dari Indonesia yang menjadi anggota 20 negara dengan produk domestik bruto terbesar dunia, mengakui adanya ketimpangan nyata antara negara kaya dan miskin. Isu tersebut akan diselesaikan dengan mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang inklusif, adil, dan setara melalui Hamburg Action Plan.
Hamburg Action Plan pada intinya berupa rangkaian kebijakan moneter, fiskal, dan transformasi struktural untuk penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan. Setiap negara memiliki kebijakan masing-masing untuk meningkatkan daya tahan perekonomiannya.
Indonesia menjanjikan sistem perpajakan yang transparan dan efisien dengan memberikan hak kepada Direktorat Jenderal Pajak membuka data keuangan setiap orang untuk meningkatkan penerimaan pajak.
Kesepakatan lain yang penting adalah memastikan perdagangan dan investasi lintas negara tetap terbuka. Kapitalisme meyakini keduanya alat pendorong pertumbuhan tinggi, meningkatkan produktivitas, penciptaan lapangan kerja, dan pembangunan.
Di atas kertas, pernyataan tersebut terdengar indah karena menjanjikan perdagangan yang adil, saling menguntungkan, dan nondiskriminasi. Dalam praktik, tiap negara pasti akan mengutamakan kepentingan nasionalnya lebih dulu. Itu sebabnya, lebih dari separuh rakyat Inggris Raya memutuskan keluar dari Uni Eropa, antara lain, karena merasa globalisasi perdagangan tidak menguntungkan mereka. Di AS, Presiden Donald Trump memilih mundur dari kesepakatan perdagangan bebas Kemitraan Trans-Pasifik.
Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) akan semakin mengubah wajah perekonomian dunia. Komunike menekankan pentingnya memberikan kesempatan kepada perempuan berpartisipasi pada ekonomi digital untuk mendorong pertumbuhan inklusif dan menurunkan ketimpangan. Negara yang menguasai TIK dan menyediakan infrastruktur akan bertumbuh semakin cepat dan dapat menimbulkan ketimpangan lebih jauh antarnegara dan antarentitas bisnis di dalam negara.
Indonesia menghadapi semua persoalan itu. Untuk mengatasi ketimpangan yang bisa berujung pada keresahan sosial dan agar tidak sekadar menjadi penonton, diperlukan visi yang jelas pemimpin tentang Indonesia masa depan.