Berpihak pada Kewajaran. Itulah buku yang menggambarkan pemikiran sekaligus kegalauan, prosa sekaligus puisi, wacana sekaligus aksi, dari sosok bernama Sudirman Said. Dia pernah menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada era Presiden Joko Widodo. Periodenya terbilang singkat. Tak sampai dua tahun. Dilantik sebagai Menteri ESDM pada 27 Oktober 2014 dan diberhentikan pada 22 Juli 2016.
Buku dengan sampul berlatar belakang hitam dengan judul putih diluncurkan Mei lalu di sebuah rumah di kawasan Jakarta Selatan. Cukup banyak tamu datang. Ada mantan Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan, ada pelukis Hardi, ada ahli komunikasi Effendi Gazali, dan sejumlah pemimpin redaksi. Sudirman meminta saya membahas buku yang disunting Agus Mokamat. Pembahas lainnya adalah Pemred Majalah Tempo Arif Zulkifli yang ikut memberi kata pengantar. Saya kenal Sudirman saat mewawancarainya dalam program Satu Meja di KompasTV. Saat itu, Sudirman bicara blakblakan soal kasus Freeport yang mencuat menjadi isu politik nasional dengan tajuk ”Papa Minta Saham”. Sudirman juga berbicara soal Petral yang dibubarkannya. Beberapa kali saya makan malam di rumahnya dengan menu mangut lele yang lezat.
Membaca buku Berpihak pada Kewajaran terasa suasana batin Sudirman sebagai menteri. Suasana kebatinan Sudirman itu terungkap lewat puisi yang ditulis melalui WhatsApp ataupun dicuitkan lewat akun Twitter-nya, @Sudirmansaid. Suasana batin itu kemudian dihimpun dan ditata ulang menjadi sebuah buku gado-gado. Ada puisi yang disebut sebagai winaya, ada wacana yang berisi pemikiran tentang kepemimpinan, ada wawancara dengan sejumlah media, ada juga wicara yang berisi pemikirannya soal energi.
Dari pembabakan di buku itu, yang menarik adalah puisi-puisinya. Dari 551 halaman bukunya, terdapat 108 puisi karya Sudirman yang terbentang pada halaman 3 hingga halaman 126. Puisi itu ditulis dalam berbagai kesempatan dan waktu yang berbeda-beda. Gaya berpuisinya, menurut saya, mirip model puisi Mustofa Bisri, meski ekspresi personal Sudirman lebih terasa dominan.
Membaca puisi ”Setelah Drop Out” yang ditulis 29 Maret 2016, ”Tunai Sudah” (29 Juli 2016), ”Apakah Harus (29 Maret 2016), ”Bukanlah Suasana Biasa (11 April 2017), dan ”Ada yang Salah (11 April 2017) terekam ada pergolakan batin terhadap kualitas kepemimpinan, keadilan, dan mungkin juga kemunafikan.
Mari kita simak puisi berjudul ”Setelah Drop Out” yang ditulis Sudirman pada saat rapat kabinet. Saya sempat bertanya bagaimana suasana rapat kabinet ketika itu. Sudirman mengaku lupa apa yang dibicarakan dalam rapat kabinet. Namun, puisi itu ditulis 29 Maret 2016 atau tiga hari setelah Presiden Joko Widodo memutuskan Blok Masela dibangun di darat (on shore). Usulan itu berbeda dengan proposal yang diajukan Kementerian ESDM. Presiden Joko Widodo meminta Sudirman untuk mengumumkan keputusan pemerintah itu. Beginilah puisi Sudirman berjudul ”Setelah Drop Out”.
Setelah Drop Out
Rasanya setelah lulus
Atau drop out dari kabinet
Aku jadi banyak belajar
Merasakan betapa di ketinggian
Sebenarnya mudah sekali
Kalau mau berbuat baik
Dan melakukan perbaikan
Tapi, nyatanya
Lebih banyak orang
Yang lebih mengurus
diri sendiri
akibatnya perbaikan dan perubahan
menjadi beban bagi sedikit orang yang dikeroyok
dikeroyok oleh pragmatisme
dikeroyok oleh sikap mau aman
dikeroyok oleh sikap yang mau gampang saja
sampai dikeroyok oleh vested interest akut
jumlah pejuang amat sedikit
meskipun kaum terdidik dan sejahtera amat banyak
meskipun mereka adalah buah
dari perjuangan para pendiri bangsa
Tanggal 29 Maret 2016, bayangan Sudirman akan meninggalkan kabinet sudah terbaca. Meski kenyatannya, penggantian kabinet baru dilangsungkan pada 26 Juli 2016. Empat hari sebelum dicopot sebagai Menteri ESDM, Sudirman menulis puisi yang diberi judul ”Mafia sebagai genderuwo dan kutu busuk” pada 22 Juli 2016. Pilihan katanya keras dan tegas.
Pencopotan Sudirman sebagai menteri dijawab Sudirman dalam puisi berjudul ”Tunai Sudah” yang ditulis 26 Juli 2016. Berikut puisinya:
Tunai Sudah
Semua reformasi pada hakikatnya:
Meninggalkan praktik masa lalu,
Mengejar ketertinggalan
Dan membangun track jangka panjang
Untuk masa depan negara
Alhamdulillah
Tugas besar selesai
Ladang amal dan perjuangan
Makin lebar
Jangan pernah lelah
Mencintai Indonesia
Yang hebat ini
Sudirman memang tak sampai garis akhir memimpin Kementerian ESDM. Tak sampai dua tahun dia menjadi orang nomor satu di Kementerian ESDM. Namun, seperti dikatakannya dalam petikan puisi berjudul ”Mana Karyanya” yang ditulis 13 Juni 2016.
…….
Menjadi pelayan publik
Harus siap ditanya
Mana Hasilnya
Mana hasilnya? Retorika itu benar adanya. Bukan hanya kekuasaan, tapi apa warisan yang ditinggalkan kekuasaan. Dalam kiprahnya yang pendek, Sudirman menjadi menteri pertama yang pernah melaporkan Ketua DPR Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan sehingga Setya sempat lengser sebagai Ketua DPR, namun bisa diraihnya kembali, sementara Sudirman lengser sebagai menteri dan menjadi orang bebas. Dia menjadi menteri pertama yang berani berhadapan dengan sebuah mahkamah politik yang menantang siapa pun yang punya integritas.
Sudirman juga akan tercatat menjadi Menteri ESDM yang membubarkan Petral, meski status hukum Petral juga tak pernah bergerak atau melangkah maju. Audit investigasi terhadap Petral pun mandek sampai akhirnya terjadi ”suksesi” di tubuh Pertamina dengan digantinya Direktur Utama Pertamina Dwi Sutjipto oleh Elia Masa Manik.
Boleh jadi singkat memang kiprah Sudirman di Kementerian ESDM. Itu mengingatkan puisi yang ditulis Chairil Anwar, sekali berarti setelah itu mati. Berarti itulah kata kunci. Kualitas diri seseorang akan ditentukan oleh siapa orang di sekelilingnya. Kamu adalah siapa di sekitarmu, tulis Sudirman.
Sebagai aktivis antikorupsi, Sudirman tergerak untuk menulis puisi mendengar Novel Baswedan disiram air panas. Puisi tertanggal 11 April 2017 itu begini isinya:
Ada yang Salah
Novel Baswedan
disiram air keras
Ada yang salah
Dengan negeri ini
Koruptor dan penjahat
Percaya diri
Pembasmi kejahatan
Dihabisi
Seakan mewakili suasana bangsa, Sudirman menulis puisi berjudul ”Bukan Suasana Biasa”. Puisi yang ditulis 11 April 2017, saya kutipkan petikannya:
Bukan Suasana Biasa
……
Membangun kepercayaan sulit tiada tara
Tetapi untuk menghancurkannya
Terlalu banyak pintu masuknya
Dan kita tidak ingin rakyat murka karenanya
Karena keadaan ini
Sungguh
Bukan suasana biasa
*) Budiman Tanuredjo adalah Pemimpin Redaksi Harian Kompas