Urgensi UU Pengendalian Harga
Usulan itu sebagai tindak lanjut peresmian Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (Kompas, 13/6/2017). Agus menjadikan Malaysia sebagai referensi. Harus diakui, Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia dalam pengaturan pangan, terutama pengendalian harga. Ketika di Indonesia gejolak harga, terutama pangan, menjadi rutinitas, di Malaysia tidak terjadi. Mengapa?
Pertama, di Malaysia ada dua payung hukum: The Price Control Act (diubah jadi Price Control and Antiprofitering Act 2011) untuk mengontrol harga barang- barang, sebagian besar pangan, sejak 1946; dan The Control of Supplies Act 1961 (diubah jadi Control of Supplies Regulations 1974) yang mengatur keluar-masuk barang di perbatasan. Di dua UU itu, harga puluhan kebutuhan sehari-hari dan 6-18 harga komoditas dikontrol pada enam hari besar. Saat Ramadhan, harga 18 komoditas, seperti ayam, daging (sapi dan lembu), telur, cabai, dan bawang (merah dan putih), diatur khusus.
Kedua, kelembagaan yang solid dan terintegrasi. Di Malaysia ada tiga lembaga: Kementerian Perdagangan Dalam Negeri, Koperasi, dan Kepenggunaan menetapkan kebijakan harga tertinggi barang; Bernas khusus mengatur harga (dasar dan tertinggi) untuk beras; dan Federal Agricultural Marketing Authority menetapkan kebijakan harga dasar dan tertinggi khusus kebutuhan pokok, terutama pangan. Di bawah kendali Majelis Harga Negara, monitoring harga dan keluhan masyarakat dikontrol dan dikoordinasikan.
Ketiga, instrumen stabilisasi komplet, mulai dari pengendalian produksi di hulu, distribusi, penyimpanan, hingga penjualan lewat lisensi di hilir. Harga maksimal diatur di empat level: produsen, pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pengecer. Prinsipnya: harga terjangkau konsumen dan produsen tetap memperoleh insentif berproduksi.
Khusus hari-hari besar, harga, jenis barang, dan lama pengendalian berbeda-beda sesuai hari besar. Harga maksimal berbeda sesuai asal barang dan wilayah. Harga tertinggi sudah ditetapkan dua bulan sebelum berlaku.
Keempat, penegakan hukum konsisten. Untuk menciptakan efek jera, pelanggar tak hanya dikenai denda, tetapi juga dipenjara. Jadi, amat terang stabilisasi harga di Malaysia dilakukan terstruktur, terencana, dan konsisten dalam jangka panjang. Bukan seperti di Indonesia yang serba ad hoc dan seperti pemadam kebakaran. Tujuan kebijakan pun sama dengan di Indonesia: menjamin akses konsumen miskin, mencegah perilaku moral hazard produsen/pedagang, memastikan pasokan, mengendalikan inflasi, dan memastikan biaya usaha tetap bersaing.
Dikendalikan kartel
Di Indonesia, harga pangan sering bergejolak karena struktur dan mekanisme pasar masih jauh dari persaingan sempurna. Produsen, pengusaha, atau sekelompok kecil orang yang punya kuasa mengendalikan pasokan dan mengatur harga di pasar masih terbuka celah untuk melakukan kartel dan persekongkolan guna mengatur volume, harga, dan wilayah distribusi. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) belum kuasa menutup celah kartel dan persekongkolan.
Apalagi, di Indonesia ada kecenderungan menyerahkan harga pangan ke pasar. Hampir semua harga pangan, kecuali beras, diserahkan pada mekanisme pasar. Belakangan gula, minyak goreng, dan daging sapi diatur harganya meski tanpa instrumen stabilisasi. Menyerahkan pangan ke mekanisme pasar tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen pejal pada guncangan pasar. Instrumen stabilisasi juga terbatas. Praktis tidak ada badan penyangga yang berkekuatan besar menstabilkan pasokan dan harga pangan. Kini, penyangga dan pengatur harga itu diambil alih swasta. Mereka yang hanya segelintir itu menguasai distribusi komoditas pangan.
Jalur distribusi yang konsentris dan oligopolis ini terjadi pada dua sumber pasokan: produksi domestik dan impor. Di tangan mereka, bisnis ini bahkan sudah menjadi perburuan rente politik (political rent-seeking).
Dari sisi aturan stabilisasi (harga dan pasokan), di Indonesia sudah ada UU Pangan (UU No 18/2012) dan UU Perdagangan (UU No 7/2014). UU ini memberi mandat: negara harus menjamin ketersediaan dan akses warga terhadap pangan, dan negara
harus mengendalikan ketersediaan, mengatur perdagangan, stabilisasi, dan cadangan pangan pokok.
Lewat Perpres No 71/2015, Presiden Jokowi sudah menetapkan kebutuhan pokok ada 11 (sebagian besar pangan): beras, kedelai bahan baku tahu/tempe, cabai, bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, serta ikan segar (bandeng, kembung dan tongkol/tuna/cakalang). Di perpres ini, menteri perdagangan bisa menetapkan harga, baik harga acuan, harga pembelian pemerintah pusat, harga operasi pasar, maupun harga khusus pada hari-hari besar keagamaan.
Menteri Perdagangan sudah menetapkan harga acuan sembilan pangan lewat Permendag No 27/2017. Masalahnya, aturan ini lebih berpihak kepada konsumen. Padahal, seperti dua sisi mata uang, selain berpihak kepada konsumen, kita juga harus melindungi produsen. Terkait ini, ada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi. Di PP itu diatur secara khusus cadangan pangan. Cadangan ini jadi perisai konsumen ketika harga melonjak tinggi, juga penyelamat produsen jika harga jatuh: negara membeli semua surplus produksi.
Cadangan pangan
Cadangan pangan terbagi tiga level: pemerintah pusat, daerah, dan desa. Cadangan hanya pada Pangan Pokok Tertentu (Pasal 3), yang jenisnya ditetapkan Presiden dan jumlah cadangannya ditetapkan kepala lembaga pemerintah. Masalahnya, Presiden belum menetapkan jenis pangan pokok tertentu dan lembaga pemerintah juga belum ada.
Untuk menstabilkan harga pangan secara sistemik dan terencana, bisa dimulai dengan penetapan jenis pangan pokok tertentu yang diatur cadangannya. Penetapan ini sebagai penanda negara hadir dan menstabilkan harga dan pasokan pangan. Untuk itu, negara harus memilih kemudian menetapkan, tidak mungkin semua jenis pangan direngkuh. Setelah itu, menunaikan pembentukan kelembagaan pangan, seperti amanat Pasal 126-129 UU Pangan.
Selain menetapkan jumlah cadangan pangan pokok tertentu, kepala lembaga ini juga bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan pembangunan pangan. Agar komplet, instrumen stabilisasi harus dilengkapi dengan beleid harga (atas dan bawah), aturan ekspor-impor, penyimpanan, dan distribusi. Bulog bisa menjadi tangan kanan lembaga ini dalam pengelolaan cadangan dan stabilisasi harga.
Bagi Indonesia, stabilisasi harga pangan merupakan keniscayaan. Harga pangan yang stabil membuat inflasi terkendali. Dalam tiga tahun terakhir, inflasi terus menurun: dari 8,36 persen (2014) jadi 3,35 persen (2015) dan 3,02 persen pada 2016. Namun, jika dilihat dari sumbernya, pengendalian inflasi masih menyisakan pekerjaan rumah. Inflasi yang rendah disumbang terkendalinya kelompok harga-harga yang diatur pemerintah (adminsitered prices) dan inflasi inti. Sebaliknya, inflasi banyak didorong harga pangan (volatile foods).
Ini tecermin dari sumbangan inflasi pangan yang semakin besar. Pada 2014, sumbangan pangan (bahan pangan serta pangan olahan dan tembakau) baru 40,31 persen dari inflasi 8,36 persen. Namun, pada 2015 andil pangan terhadap inflasi naik menjadi 61,19 persen dari inflasi nasional sebesar 3,35 persen, dan naik lagi menjadi 70,1 persen dari inflasi 3,01 persen pada 2016.
Hal ini menandakan pemerintah belum mampu mengendalikan harga-harga pangan. Padahal, pangan merupakan pengeluaran terbesar warga miskin, mencapai 73 persen. Warga mendadak jatuh miskin ketika harga pangan, terutama beras, melonjak demikian tinggi. Jadi, seperti sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui, sekali stabilisasi harga pangan bisa diwujudkan inflasi akan terkendali dan jumlah warga miskin bisa ditekan signifikan. Tidak perlu menunggu ada UU pengendalian harga. Aturan yang ada lebih dari cukup.
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI); Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)