Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada 7 Juli, saya sempat menghadiri acara sosialisasi UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Mendengar presentasi Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid tentang UU itu, saya puas: agaknya untuk pertama kali kita ditawarkan suatu tindakan kebudayaan-suatu rancangan undang-undang- yang betul-betul bersifat makro, yang akan menjadi sarana untuk melaksanakan secara padu di semua provinsi/kabupaten/kota negeri ini, dan di dalam segala bidang kebudayaan, kebijakan- kebijakan kultural yang ditentukan pemerintah.
Saya juga senang oleh karena teringat janji Presiden Jokowi seusai pertemuannya dengan budayawan di Galeri Nasional, yang kebetulan saya hadiri, pada tanggal 23 Agustus 2016. Ketika itu ia berbicara tentang perlunya "proses kebijakan makrokebudayaan Indonesia". Jadi, janji beliau kini menjadi kenyataan: "Terima kasih Bapak Presiden"! Apabila disusul kebijakan yang jitu, serta peraturan terkait yang lebih jelas, Indonesia bakal memiliki instrumen untuk mengarahkan evolusi mentalitas ke arah persatuan yang lebih kokoh..
Namun, banyak masalah sudah terlihat bakal muncul pada tataran implementasinya. Misalnya, sudah terlihat dari rumusan undang-undang bahwa perhatian yang paling besar diberikan kepada apa yang disebut sebagai "tradisi", bukan kepada problematika budaya kekinian. Apakah karena kebudayaan-kebudayaan daerah tetap dianggap sebagai daya tarik pariwisata dan sumber kebanggaan nasional? Seolah- olah evaluasi atas kebudayaan- kebudayaan nasional ditentukan oleh peminat eksotika itu. Meskipun demikian, belum terdengar ada upaya untuk membuat "digital museum" untuk merekam memori lokal budaya-budaya daerah yang dikagumi itu sebagaimana pernah didengungkan pada waktu pemerintahan sebelumnya. Program itu mestinya menjadi landasan upaya pelestarian tradisi daerah. Tanpa itu memori lokal bakal terhapus dengan sangat cepat karena transmisinya pun sudah terhenti akibat intrusi kemodernan, terutama medsos.
Memori
Kenapa "memori" itu penting? Karena tradisi harus menggandeng kekinian. "Memori" kultural di atas tidak hanya menyangkut masa lalu. Ia mengandung simbol-simbol yang selama ini telah menjamin toleransi Indonesia. Toleransi itu, alias warisan kearifan lokal, nyatanya kian terancam. Suatu paradoks bahwa sampai 40 tahun yang lalu, pada waktu sebagian besar orang Indonesia masih "buta huruf", mereka justru pada umumnya toleran dan berkebudayaan adi luhung. Apa sarananya? Teater, wayang, tutur dan kitab kuning, kidung, pantun, syair, yaitu sarana-sarana di mana akhlak dan agama diajarkan melalui simbolisme yang canggih. Kini sebaliknya. Sebagian besar orang melek huruf, tetapi kecanggihan kulturalnya justru surut. Dibutakan oleh pengajaran ekstrakurikuler yang tidak terawasi, kian banyak anak muda sedari masuk sekolah justru menjadi "kasar" secara kultural. Mereka tidak lagi mau mengenyam intisari simbolis dari ajaran-ajaran lama. Dan sebagai penggantinya, mereka merangkul tafsir harfiah atas agama yang sempit, mutlak, dan non-simbolis. Akibatnya, kini ada di depan mata: matinya simbolisme tradisional berarti tumbuhnya radikalisme agama. Kemodernan di dalam hal ini tidak menghasilkan pencerahan, tetapi penyuraman.
Di situlah pentingnya kebijakan kebudayaan yang jitu. Kebudayaan adalah instrumen yang secara potensial paling efisien untuk melawan radikalisme. Sastra, novel, puisi, teater, film, seni rupa dan lain-lain pada dasarnya tak mengenal dogmatisme, tetapi mengungkap di dalam keindahan segala kompleksitas rasa dari situasi manusia, baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok, dan apa-pun pendapat para juru kutuk. Hal ini dahulu berlaku terhadap para juru kutuk ekstrem kiri, yang mengatasnamakan "rakyat" dan kini mestinya berlaku pula terhadap para juru kutuk ekstrem kanan, yang mengatasnamakan "sabda". Apa pun bentuknya, radikalisme harus ditangkal dan kebudayaan adalah alat yang paling tepat untuk menangkalnya.
Namun, kebudayaan sebagai sarana pencairan masalah sosial-termasuk radikalisme-jangan dibatasi pada ruang institusi-institusi "kebudayaan". Terlalu sempit terjemahan ini. Kebudayaan sebenarnya menyangkut isi pendidikan. Dan apabila benih radikalisme telah meresap melalui pendidikan yang salah kaprah, harus ditentang melalui isi pendidikan pula. Oleh karena itu, pusaka-pusaka tertentu dari kebudayaan-kebudayaan daerah-seperti Sutasoma (sumber Bhinneka Tunggal Ika), Arjuna Wiwaha (sumber seruan ketuhanan yang mengagumkan), I La Galigo atau mitos-mitos lokal lainnya-hendaknya dijadikan bagian dari kurikulum sebagai sumber pengajaran nilai-nilai moral yang setara dan selaras dengan sumber-sumber normatif dari agama besar anutan murid- murid sekolah.
Lebih dari represi, kebijakan kebudayaan yang jitu adalah alat yang paling efektif untuk melawan radikalisme.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.