Peringatan Hari Koperasi Nasional yang dipusatkan di Makassar, Sulawesi Selatan, 12-15 Juli 2017, memiliki makna tersendiri bagi perekonomian nasional. Hal ini terkait dengan tren perekonomian nasional yang ditandai oleh dualisme ekonomi antara konglomerasi di satu sisi dengan usaha skala mikro, kecil, menengah, dan koperasi di sisi yang lain.
Perekonomian nasional pasca-Reformasi 1998 mengalami tiga persoalan sekaligus, yaitu proses konglomerasi dengan integrasi bisnis dari hulu ke hilir dalam satu kepemilikan, tingginya penguasaan pasar di sektor-sektor yang strategis, dan indeks rasio Gini yang mencerminkan ketimpangan antarpendapatan per kapita yang tinggi.
Akibat tiga persoalan tersebut, manfaat pertumbuhan ekonomi nasional dalam beberapa tahun terakhir lebih banyak dinikmati segelintir orang terkaya. Bahkan, menurut data Bank Dunia, terdapat 1 persen orang terkaya di Indonesia yang menguasai separuh lebih kekayaan Indonesia. Ketimpangan kesejahteraan pun melebar (Kompas, 9/12/2015).
Ketimpangan melebar
Peningkatan output nasional yang tecermin pada produk domestik bruto (PDB) atau gross domestic product (GDP) harga berlaku, yaitu dari Rp 1.646 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp 3.950 triliun pada 2007 dan Rp 10.094 triliun pada 2014, lebih banyak dinikmati oleh kurang dari lima pemain besar di setiap sektor.
Hal ini dapat diamati pada semakin meningkatnya jumlah industri yang dikuasasi oleh hanya satu hingga tiga pemain besar dengan penguasaan lebih dari 50 persen pangsa pasar. Struktur pasar di setiap sektor ditandai oleh kehadiran pemain-pemain besar yang bisnisnya menggurita dari hulu hingga ke hilir.
Faktanya, dari sampel sebanyak 409 kegiatan usaha, sekitar 55,25 persen atau setara dengan 226 kegiatan usaha memiliki tingkat konsentrasi lebih dari 75 persen. Kemudian, 26,16 persen atau setara dengan 107 kegiatan usaha memiliki tingkat konsentrasi 50-75 persen. Sisanya, 18,60 persen atau setara dengan 76 kegiatan usaha memiliki tingkat konsentrasi kurang dari 50 persen (Haryo, 2015).
Tidak terhindarkan, ketimpangan pendapatan juga semakin melebar. Indeks rasio Gini secara nasional meningkat dari 0,308 pada 1999 menjadi 0,329 pada 2002; 0,364 pada 2007; 0,413 pada 2013, kemudian mengalami penurunan menjadi 0,397 pada 2016.
Dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara, perekonomian Indonesia menjadi negara dengan ukuran PDB terbesar sekaligus mengalami ketimpangan terparah yang setara dengan Etiopia dan Pantai Gading (Bank Dunia, 2015).
Ketimpangan yang melebar disebabkan oleh penguasaan pasar yang juga semakin tinggi. Hal ini ditunjukkan tingginya rasio konsentrasi (concentration ratio) di berbagai sektor strategis, seperti pertanian, industri, perdagangan, telekomunikasi, dan transportasi.
Solusi kemitraan
Saat ini, secara nasional terdapat lebih kurang 57,9 juta pelaku usaha mulai dari skala besar, menengah, kecil, hingga mikro. Dari jumlah itu hanya sekitar 0,01 persen yang berstatus sebagai pengusaha besar dengan jumlah 4.968 unit usaha dan sisanya, lebih kurang 99 persen (56 juta lebih), merupakan pengusaha skala mikro, kecil, menengah, dan koperasi (BPS, 2016).
Sementara khusus untuk industri kecil dan menengah, dari sebanyak 3,668 juta unit usaha, hanya 9,89 persen yang memiliki hubungan kemitraan dengan pelaku usaha besar. Sementara sisanya sebanyak 90,11 persen tidak memiliki hubungan kemitraan dengan pelaku usaha besar.
Akibatnya, terjadi dualisme dalam kegiatan usaha antara konglomerasi besar di satu sisi dan usaha skala mikro, kecil, dan koperasi di sisi lain. Konglomerasi besar semakin kuat posisinya di pasar, sementara usaha skala mikro, kecil, dan koperasi terpinggirkan dalam perekonomian nasional.
Pengusaha skala mikro, kecil dan koperasi lebih gampang keluar dari pasar (bangkrut) dibandingkan tetap eksis dan bertransformasi menjadi pengusaha skala menengah dan besar. Akibatnya, sangat sulit terjadi proses transformasi bisnis dari skala mikro, kecil, dan koperasi menjadi pengusaha skala menengah kemudian besar.
Pengalaman Korea Selatan dapat menjadi rujukan karena negara itu mampu menggeser ekonominya secara cepat dari ekonomi berbasis Chaebol (konglomerasi) menjadi berbasis usaha skala mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Bahkan, koperasi petani memegang peranan utama menjaga kestabilan harga pangan di Korea Selatan.
Reorientasi pembangunan ekonomi Korea Selatan menjadi berbasis usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi yang bermitra dengan korporasi besar didasarkan pada pemikiran bahwa usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi memiliki kelenturan berinovasi dan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan bisnis yang sangat cepat.
Akhirnya, sesuai arahan Presiden Joko Widodo dan momentum Hari Koperasi Nasional, dalam rangka mendorong pemerataan, jalan keluar terbaik berdasarkan pada spirit gotong royong pendiri bangsa, Soekarno-Hatta adalah membangun kemitraan yang adil antara konglomerasi besar dengan usaha skala mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
Prinsipnya gotong royong untuk tumbuh bersama sebagai mitra setara antara konglomerat besar dengan pengusaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Perlu ada proyek percontohan (pilot project) pengembangan kemitraan di beberapa sektor strategis untuk mengatasi ketimpangan sekaligus menghindari dualisme ekonomi yang akut.
Muhammad Syarkawi Rauf
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia