Kita tertarik dengan berita pembangunan technopark atau kawasan/taman teknologi di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan (Kompas, 7/8).
Kawasan teknologi Bantaeng diharapkan bisa menjadi contoh sukses bagi pembangunan kawasan
Ada dua hal yang bisa menjadi bahasan dari kawasan teknologi Bantaeng. Pertama, menjadi pusat benih unggulan nasional untuk bioteknologi dan agroindustri. Kedua, kawasan ini bisa menjadi contoh bekerjanya konsep triple helix, yakni bersinerginya tiga elemen ABG, atau akademik, bisnis, dan pemerintah (government). Lebih komplet dari triple helix, terlibat pula elemen keempat, yakni komunitas/masyarakat.
Masyarakat memberi warna pada pembangunan industri di hilir, dengan menambahkan kearifan lokal. Itu kesan yang disampaikan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir saat berkunjung ke Bantaeng dalam rangkaian kegiatan peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional pada 10 Agustus lusa.
Sudah sekitar dua dasawarsa terakhir kita mewacanakan kawasan teknologi, juga triple helix yang lalu menjadi quattro helix dengan penambahan unsur C pada ABG, yakni community atau masyarakat. Namun, kita jarang mendengar keberhasilan implementasi konsep ini. Justru lebih sering kita dengar adalah saling kritik manakala ada gugatan terhadap konsep ini. Misalnya, kalangan bisnis mengatakan, hasil riset akademisi tak bisa dikomersialkan karena tidak cocok dengan selera pasar, atau pemerintah bilang dana riset tak bisa dicairkan karena sifat riset terlalu ilmiah, kurang berpotensi terapan.
Jika kawasan teknologi Bantaeng bisa diklaim sebagai contoh keberhasilan, ketidaksinkronan seperti contoh itu semestinya bisa diatasi karena ketiga pihak sudah bekerja di satu kompleks. Komunikasi diandaikan terjalin mulus.
Dewasa ini, kata Menteri Nasir, ada 66 kawasan teknologi yang sedang dirintis di bawah koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan Kemristek Dikti. Presiden Joko Widodo menargetkan membangun 100 kawasan teknolog. Dengan keberhasilan di Bantaeng, semestinya ada momentum untuk tidak hanya mencapai target itu, tetapi juga membuahkan hasil dalam berbagai bidang industri.
Dengan pemetaan yang cermat, menerapkan regionalisasi pusat unggulan, yang sekilas mengingatkan pada konsep MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mestinya Indonesia tidak perlu mengalami kelangkaan garam yang ironis.