Lima Gunung
Tak terasa festival tahunan bernama Festival Lima Gunung (FLG) telah memasuki tahun ke-16. FLG tahun ini berlangsung di lereng Gunung Merbabu, tepatnya di Dusun Gejayan, Kelurahan Banyusidi, Kecamatan Pakis, Magelang, tanggal 28-30 Juli lalu. Kalau dihitung-hitung, sekitar 16 tahun itu pula terjalin persahabatan saya dengan warga gunung, seperti Riyadi, Supadi, Sitras, Sujono, Sih Agung, Ipang, dan tak ketinggalan panembahan sepuh Sutanto.
FLG merupakan festival yang benar-benar tumbuh atas prakarsa rakyat, para petani dan seniman di seputar Gunung Merbabu, Merapi, Andong, Sumbing, dan Menoreh. Tak ada "cantolan" ke atas, apalagi pada lembaga politik dan kekuasaan. Mereka mengorganisasi diri sendiri, membiayai diri sendiri, bersenang-senang sendiri, menjamu tamu dengan riang, maka menyanyi dan menarilah gunung selama beberapa hari. Agendanya tidak muluk-muluk: daripada nglangut, begitu istilah mereka.
Bersama berjalannya waktu, festival berkembang menjadi komunitas yang luas. Pihak dari luar kota, entah seniman, wartawan, akademisi, rohaniawan, bekas pejabat, terlibat dan menjadi bagiannya. Datang ke situ berarti berkesempatan ketemu sanak kadang dari berbagai kota, ada yang ambil bagian dalam acara, atau sekadar menikmati suasana kekeluargaan yang dalam beberapa hal telah hilang di kota-kota.
Sekitar 50 rumah di dusun membuka diri untuk diinapi tamu. Tidak bayar, tidak perlu reservasi, disediakan makanan seperti menjamu keluarga yang datang pada hari besar. Secara pribadi saya sering kangen tempe goreng di rumah Riyadi dengan cabai rawit tinggal petik di kebun. Kabut datang dan pergi.
Mereka membangun panggung besar di pelataran sebuah rumah. Kepala burung garuda berukuran raksasa menjadi back drop. Terbuat dari bahan-bahan setempat, seperti kerangka bambu, jerami, klobot, bunga pinus, dan bunga pakis, instalasi garuda sekuat dan seberwibawa gunung. Penampil di panggung bisa mengeksplorasi dengan naik ke atasnya. Kalau mau bilang bahwa yang lokal itu kontemporer; yang kontemporer itu lokal, inilah contohnya. Pada malam hari, panggung dihujani tata cahaya warna-warni.
Selain kelompok-kelompok kesenian dari sanggar-sanggar setempat, tampil beberapa seniman dari luar kota, seperti Yogya, Solo, Semarang, Salatiga, Temanggung, Lumajang, Kediri, Kupang, dan Sampit. Di tengah antusiasme penduduk, ajang ini bisa menjadi debut bagi mereka yang hendak bereksplorasi dengan keseniannya. Kelompok bernama Jogja\'s Body Movement harus disebut siap tampil di panggung internasional kalau kesempatan tersedia. Pemusik Endah Laras kian matang. Dia tidak lagi bisa dikategorikan keroncong, jazz, pesinden, dan semacamnya. Ia telah menemukan musiknya sendiri. Tabik Mbak Endah.
Tema festival kali ini "Mari Goblok Bareng". Diselenggarakan pula pameran lukisan bertajuk "Pasca Mikir".
Ajakan menjadi goblok adalah bunyi kekecewaan melihat perkembangan sekarang di mana banyak orang, tak terkecuali para priayi intelektual, yang menunjukkan apa saja tentang diri kecuali menguasai diri. Selain yang umum, yakni pamer makan di mana, piknik ke mana di tengah lautan kemiskinan, tak jarang mereka memberikan analisis macam-macam atas sesuatu hal yang belum tentu nyata. Kodrat media digital: tak jelas mana nyata mana tidak nyata.
Banyak orang kemudian terseret mengalami waham kebesaran. Waham-sama seperti halusinasi-membuat orang sulit membedakan mana kenyataan mana khayalan. Keduanya masuk kategori sama: skizofrenia. Sakit jiwa. Alamat terapinya Rumah Sakit Jiwa Magelang.
Syukurlah, saudara-saudara di lima gunung masih bisa mengolok-olok diri sendiri dengan mengajak mari goblok bareng. Tanda kewarasan adalah mampu menertawakan diri sendiri. Kalau seluruh desa di Indonesia seperti ini, percayalah tak diperlukan perppu untuk menangkal radikalisme. Tanya Pak Boediono yang pernah menjadi wakil presiden yang pernah datang kemari.
Sebenarnya, cukup dengan tiga gunung memeluk rembulan, sedangkan ini lima gunung...