logo Kompas.id
OpiniSeni sebagai Senjata...
Iklan

Seni sebagai Senjata Lingkungan

Oleh
Teuku Kemal Fasya
· 5 menit baca

Dari Aceh terdengar kabar kiamat lingkungan datang. Mata Ie, tempat wisata dan kolam pemandian masyarakat Banda Aceh, telah kering kerontang. Fenomena ini baru pertama kali terjadi. Sebab, seburuk-buruknya kemarau, kolam di Mata Ie tidak pernah tandas.Para pakar menyebutkan, ekosistem Mata Ie sebagai kawasan karst yang unik-yang dengan goa-goa yang berfungsi sebagai drainase di dalam gunung gamping itu-telah rusak. Penyebabnya tak lain penambangan liar batu kapur dan penebangan pepohonan di atasnya. Batu kapur itu mengandung kalsium karbonat, berfungsi sebagai "spon" penyimpan air yang defisit saat kemarau dan surplus kala musim hujan, tapi kini telah bercalar-balar. Jika nanti kolam penuh karena hujan, dipastikan itu hanya air transit (Serambi Indonesia, 25/7).Kerusakan ekologi-teologiPemberitaan media massa tentang dampak kerusakan lingkungan selalu diikuti analisis buruknya politik pengelolaan lingkungan di Indonesia pasca-Orde Baru. Kerusakan yang kian menjadi-jadi sejak Reformasi 1998 ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan kesadaran warga menjaga bumi dan segala isinya. Hal lain yang cukup menyesakkan, bencana akibat kerusakan biosfer dan ekosistem ini semakin menggerus ketahanan ekonomi nasional. Tercatat bencana akibat kebakaran lahan hebat pada 2015 mengundang kerugian Rp 221 triliun atau setara 1,9 persen pendapatan ekonomi nasional (Kompas, 20/3).Kerusakan lingkungan tersebut hampir merata di semua pulau-pulau besar. Di Sumatera, kerusakan lingkungan masih didominasi bisnis kartel sawit yang meremukkan resiliensi ekologis dan sistem sosial-kultural penduduk asli. Kompas pernah menurunkan berita foto dari udara tentang kerusakan kawasan Maredan, Siak, Riau, yang telah dikapling oleh pengusaha Malaysia (Kompas, 1/9/2016). Beberapa hari kemudian kembali muncul foto hancurnya  cagar biosfer Bukit Batu, Bengkalis, Riau, yang telah beralih fungsi menjadi "belantara sawit" (Kompas, 8/10/2016).Pelbagai pendekatan melawan predator lingkungan, mulai dari hukum hingga agama, tak kunjung mangkus. Pendekatan teologi masih kurang mampu menutupi luka perusakan lingkungan. Agama sebenarnya memiliki ruang tafsir terhadap lingkungan. Namun, klaim moral menolak perusakan lingkungan belum menjadi arus utama tafsir. Argumentasi agama atas ekologi masih normatif, tidak mengusik keimanan para pelaku perusakan lingkungan.Sebagai pengimbangnya, kini muncul gerakan seni yang bertujuan menyelamatkan lingkungan, disebut ecological art atau sering disingkat eco art. Eco art adalah sebuah genre dari praktik artistik yang memberikan pesan penyelamatan, pemulihan, dan penyegaran bentuk-bentuk kehidupan di bumi. Sebenarnya secara genealogis eco art telah muncul seiring gerakan teologi hijau. Namun, sebagai aksi seni poskolonial baru terlihat kuat beberapa tahun belakangan.Pendekatan estetik eco art melengkapi tafsir sejarah dan politik ketika mengekspresikan seni. Perubahan lingkungan, transformasi kultural masyarakat perdesaan, kepunahan, dan kesengsaraan dituangkan sebagai tema kesenian.Ekspresi dan bentuk kesenian eco art, yang galib di dunia seni rupa, kini mulai dipraktikkan di dalam seni pertunjukan. Salah satu yang mulai marak adalah aksi meruwat bumi, terutama di Pulau Jawa.Salah satunya ialah Gelar Budaya Merapi yang muncul sejak 2001. Aksi itu dilakukan di samping menjadi "seni perlawanan" masyarakat desa atas perusakan lembah Merapi yang menjadi-jadi pada era otonomi daerah, juga bentuk pelestarian seni tradisi ketika menghadapi sikutan gerakan formalisasi agama.Penggerak kesenian rakyat itu adalah Komunitas Pedepokan Cipta Budaya Tutup Ngisor. Pedepokan ini berdiri sejak 1937, menjadi pusat bagi setiap kesenian di sekitar lereng Merapi. Para seniman di pedepokan ini ialah masyarakat di sekitar yang rata-rata petani dan berpendidikan rendah.Simbol-simbol kesenian yang mereka langsungkan berasal dari identitas masyarakat petani yang memiliki impian sederhana dalam melangsungkan kehidupan dan mengolah tanah Gunung Merapi yang  dikeramatkan. Menurut mereka, memanfaatkan bumi Merapi tidak boleh sampai merusak ekosistem karena akan berpengaruh terhadap kualitas pertanian dan menciutkan debit air bersih (P Sunu Hardiyanta, 2009: 22-27).Gelar Budaya Merapi itu masih berlangsung hingga saat ini. Aksi kesenian yang ditampilkan mulai dari jatilan, kuda lumping, jelantur, topeng ireng, soreng, hingga pemutaran film-film tentang perlawanan terhadap kapitalisme pertanian dan pertambangan. Dalam beberapa hal praktik kesenian itu juga mengandung unsur sakral-sinkretik, seperti bakar kemenyan dan tirakatan.Contoh lain, repertoar "seni pertunjukan"  perempuan-perempuan Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah. Aksi yang mereka lakukan ialah menyemen kaki dan melakukan tirakatan sembari kampanye visualisasi kerusakan lingkungan akibat rencana pembangunan pabrik semen. Aksi ini bisa disebut aksi teatrikal dengan nuansa liris. Menurut mereka keberadaan megaproyek pabrik semen telah mematikan kehidupan sel-sel segar lingkungan dan ekonomi masyarakat, persis seperti kaki mereka yang membatu oleh semen dan membiru karena kerusakan saraf.Pesan ekologisSebenarnya sejarah seni tradisi dan foklor di Nusantara memuat pesan ekologis yang kental. Seni musik dan tari di Aceh, seperti tarian seudati, meusekat,  dan pho tidak lepas dari semiotika ekologis. Seni yang terbentuk sejak era animis-hinduisme itu kemudian mengalami akulturasi dengan budaya Arab-Persia, memiliki interpretasi gerak, musik, dan visual dari konsep spasial gunung Bukit Barisan di punggung utara bumi Sumatera. Penggambaran estetiknya berangkat dari konsep hulu-hilir (tunong-baroh), gunung-pantai, hutan-rawa, primordialisme lokal-peradaban global, dan sakral-profan. Pesan itu yang akhirnya diekspresikan di dalam gerak, suara, ketukan, dan langkah (Margaret Kartomi, 2004: 4-6).Harus disadari bahwa seni (tradisi) inspirasi pertamanya adalah lingkungan. Karena itu, ia harus menjadi senjata melawan globalisasi perusak ekologi. Ketika alam rusak, seni dan budaya pun pasti ikut binasa. Sebelum alam betul-betul hancur, kesenian harus mengambil langkah kesaksian atas luka dan nestapa bumi yang menjerit sendirian.Teuku Kemal FasyaDosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh dan Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Aceh

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000