Saya kemarin dan kemarin dulu berada di dalam posisi yang sulit. Bisa dipahami: saya menjadi "the last bule". Apakah sebagai anggota suatu jenis manusia yang terancam punah? Boleh disesalkan, tetapi belum. Saya telah menjadi "the last bule" dari suatu pulau-Bali-yang terancam oleh Paradize Capitol di dalam suatu pementasan teater berjudul "Laskar Bayaran". Saking terancam Bali sehingga semua bule hengkang, kecuali saya, yang sudah lupa leluhurnya-kecuali Si Asterix itu, tokoh komik tersohor yang melawan dominasi Caesar atas Gallia dua ribu tahun yang lalu.
Nada pementasan itu kocak, dan saya pun pasti rada konyol, tetapi melatarbelakangi kekonyolan itu terdapat suatu peringatan yang serius. Apabila pembangunan dan kapitalisasi suatu ekonomi berlandaskan pariwisata tidak dikontrol dampak ekonomi dan sosio-kulturalnya, akibatnya bisa dahsyat: bukan hanya daya tarik yang hilang, bukan hanya lenyapnya para turis bule dan lain-lain, melainkan guncangnya semua tatanan sosial. Hal mana dapat bermuara pada konflik terbuka. Itulah rasanya pesan yang terbaca dari pementasan yang tidak saya tonton ini oleh karena menjadi salah satu pemainnya. Kelebihan dari pesan kritik terhadap kuasa kapital ini ialah bahwa proses penyadaran tidak konfrontatif dan mudah dipahami oleh siapa pun.
Namun, membicarakan dinamika kapitalistis kontemporer, saya merasa nasib Pulau Bali, betapa pun penting di tataran lokal, masih relatif minor di tataran global. Soalnya Bali bukan satu-satunya korban. Kita kini berada pada suatu persimpangan historis di mana semua tatanan dunia-ekonomis, ekologis, politik, sosial dan kultural- tengah goyah secara serentak. Nyatanya, globalisasi tak hanya memunculkan pusat kapitalisme tandingan-China dan India- tetapi juga merombak keseimbangan sosial negara-negara demokratis di Amerika dan Eropa sembari mengguncangkan tatanan sosio-religius dari dunia Islam- dan kini dari India dan Afrika. Bersamaan itu, perusakan lingkungan dan bom demografis, selain memicu konflik lokal, juga melemparkan puluhan juta orang di jalan migrasi dunia. Maka lupakanlah globalisasi utopis yang dibayangkan 20 tahun yang lalu: bisa jadi dunia terlihat semakin global secara ekonomi, tetapi di luar elite ekonomi dan intelektual tertentu, ia sebenarnya kian terpecah. Aneh, tapi nyata: semakin manusia mirip di dalam pola hidupnya, semakin ia mengedepankan unsur pembeda.
Kini tatanan warisan Perang Dunia II tampak makin rapuh. Kelas menengah negara-negara maju, yang selama ini merupakan tulang punggung dari sistem demokrasi nasional dan dari sistem institusional lintas bangsa tengah berubah haluan politiknya; sebagian kian besar anggotanya melihat dirinya sebagai korban dari globalisasi oleh karena mengalami pemiskinan relatif dan menyaksikan "invasi" asing (kaum pengungsi Islam dan Afrika). Trump di Amerika, Brexit di Inggris, dan partai-partai ekstrem kanan di negara Eropa lainnya adalah manifestasi nyata dari pergeseran nilai makro ini. Apabila kecenderungan itu tidak segera dicekal-dan bagaimana?-kita bisa membayangkan akibat yang bakal muncul: wacana neo-nasionalis akan mengemuka; sistem tawar-menawar institusional internasional akan dilumpuhkan; alhasil radikalisme agama dan migrasi liar akan kian sulit dikontrol dan ketegangan di antara negara besar akan dianggap wajar. Ujung-ujungnya, meskipun tanpa perang besar, kita akan mewariskan kepada anak cucu kita satu tatanan politik yang tidak memberikan peluang untuk menyusun instrumen-instrumen antarbangsa yang cukup jitu untuk menghadapi masalah ekologis mahadahsyat dari masa depan, yaitu pemanasan global dan aneka akibat sampingannya, seperti kian kering sumber air gunung besar; kian meluas gurun di Afrika, India, dan China; serta migrasi-migrasi liar dari ratusan juta manusia.
Apakah agama mampu menawarkan solusi? Saya ragu. Selama ini ia lebih merupakan masalah daripada solusi. Bidangnya lain. Apakah bangsa? Ia paling- paling menawarkan wadah. Yang dibutuhkan adalah kesadaran, disusul rekonseptualisasi dan perombakan dari semua tatanan politik dan tatanan ekonomi di seputar problematik ekologi. Itulah tantangan bagi umat manusia dan bangsa Indonesia ke depan. Alternatifnya adalah perang. Teater, termasuk pementasan "Laskar Bayaran", adalah sarana penyadaran itu.