Motor
Benar, saya baru merasakan kota tanpa motor, kata saudara saya yang baru saja pulang piknik dari Yangon, Myanmar. Ia membenarkan ucapan saya sebelumnya bagaimana di Yangon kamu bakal tak menemukan sepeda motor. Transportasi di dalam kota selain taksi adalah bus. Modelnya seperti bus-bus kita pada tahun 1970-an. Ingat bus Esto di Salatiga, tanya saya. Ya, seperti itulah. Jalan kaki enak banget, ia berkomentar.
Bagi saya pribadi, sepeda motor selalu berasosiasi dengan ”revolusi”. Maksud saya: semangat pembebasan. Asosiasi tadi berhubungan dengan film-film yang melekat dalam benak saya.
Dulu ada film Easy Rider. Dibintangi Peter Fonda dan Dennis Hopper, film ini menceritakan petualangan dua pemuda di atas sepeda motor dengan dorongan semangat kebebasan kaum hippies kala itu.
Pada sekitar dua dekade sebelumnya, awal 1950-an, sepeda motor (dalam hal ini Vespa) di Italia menjadi simbol kebebasan. Seusai Perang Dunia II, berdasarkan kesepakatan Sekutu, Piaggio tidak lagi diizinkan memproduksi pesawat tempur. Beralihlah mereka memproduksi skuter, kendaraan yang sangat modis pada zamannya. Bercita rasa modern, dinamis, mudah dikendarai, ia mengekspresikan kebebasan setelah berlalunya era fasisme.
Keceriaan mengendarai skuter pun muncul dalam film Roman Holiday. Dengan mesra, Gregory Peck dan artis cantik Audrey Hepburn berboncengan skuter pada roman singkat di kota Roma. Film itu menginspirasi film Indonesia yang muncul beberapa tahun sesudahnya. Adegan serupa muncul dalam Tiga Dara karya Usmar Ismail. Si ganteng Bambang Irawan memboncengkan Mieke Widjaja.
Di Indonesia, terutama pada awal Orde Baru, ketika pintu perdagangan dengan luar negeri dibuka lebar, langsung menyerbu produk Jepang. Motor Honda dan sejenisnya menandai kebebasan remaja dan anak-anak muda dari kalangan berpunya. Film-film remaja pada kebangkitan film Indonesia masa itu banyak memunculkan remaja bermotor. Begitu pun pada pertunjukan musikal yang marak saat itu, baik di Jakarta maupun Bandung, tak jarang sepeda motor naik panggung.
Selain romantisisme dunia seni pertunjukan, dalam beberapa kasus sepeda motor memang berhubungan dengan revolusi. Che Guevara bersama temannya melakukan penjelajahan ke negeri-negeri Amerika Selatan sebelum kemudian mendapat inspirasi untuk angkat senjata sebagai gerilyawan Marxis. Dia menjadi idola di mana-mana.
Pada ranah spiritual, Robert M Pirsig menulis buku yang memengaruhi kehidupan banyak orang. Judulnya Zen and the Art of Motorcycle Maintenance. Sepeda motor dalam buku itu merupakan sesuatu yang konkret sekaligus metaforik.
Revolusi sendiri di dalamnya selain kebebasan juga terdapat semangat perlawanan. Umumnya berupa perlawanan dari kelompok yang lemah terhadap yang kuat; yang marginal terhadap yang berkuasa; yang miskin terhadap yang mapan; dan seterusnya. Bukankah ini yang terlihat di jalanan kita kini?
Sepeda motor dengan kemudahan untuk mendapatkannya diam-diam telah menjadi kekuatan massa. Tukang jok sepeda motor di kampung saya bilang dia sekarang sangat jarang mendapat order. Sebelum jok rusak, orang dengan gampang mengkredit sepeda motor yang baru.
Perlawanan sepeda motor kita lihat sehari-hari di jalanan. Mereka menerobos lampu lalu lintas, melawan arus, membentuk konvoi dengan tongkat merah diacung-acungkan mengintimidasi pengguna jalan yang lain.
Tak ketinggalan kaum ibu, sebutannya ”the power of ibu-ibu”. Mereka tak memedulikan pengguna jalan yang lain. Lampu sein menyala kiri, beloknya kanan. Masuk jalan tol. Ketika ditangkap histeris bikin panik penangkapnya.
Di beberapa kota di luar negeri, sepeda motor dibatasi. Di Vietnam, peraturan lalu lintas ketat. Yang melanggar berisiko ditembak.
Enak juga kota tanpa motor, kata saudara saya tadi. Meski saya pemotor, kalau disuruh milih, saya memilih kota tanpa motor, tambahnya.
Terang saja karena di Yangon kamu turis. Di mana-mana turis merasa enak. Atau mungkin revolusi memang harus ada batasnya. Selebihnya orang memerlukan aturan. Tidak seenak udel.