logo Kompas.id
OpiniBeku, Bubar, dan Barbar
Iklan

Beku, Bubar, dan Barbar

Oleh
indra Tranggono
· 4 menit baca

Orang cenderung ringan lidah untuk mengucapkan kata bubar atas hal-hal yang berseberangan dengan kepentingan atau sesuatu yang dibencinya. Begitu juga dengan (sebagian) politisi.  Wacana "bekukan KPK" dan "bubarkan KPK" sudah menggelinding dari Senayan, tempat politisi yang merangkap wakil rakyat bertakhta.Jika konsisten sebagai wakil rakyat, tentu oknum-oknum anggota DPR itu harus lebih dulu meminta pertimbangan seluruh rakyat Indonesia ketika mewacanakan seruan yang galak-destruktif itu. Bukankah rakyat merupakan pemilik sah kedaulatan dan DPR hanyalah sekumpulan wakil yang diberi kepercayaan untuk mengoperasikan kedaulatan?  Namun, yang terjadi lebih banyak fait accompli daripada konsensus, dan rakyat cenderung dalam posisi korban: sebagai pihak yang "dicatut" hak dan otoritasnya. Atas nama kepentingan,  wakil rakyat telah berubah menjadi kekuatan pemaksa. Mereka tak peduli gagasan itu telah melukai hati rakyat, juragan mereka. Gagasan itu bisa menjadi semakin kokoh, masif, dan determinan ketika kekuatan-kekuatan lain anti-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergabung. Ingat, pada mulanya adalah  ide dan kata yang kemudian menjadi tindakan. Kekerasan simbolis berpotensi menjadi kekerasan fisik.Ide dan tindakan pembekuan hingga pembubaran KPK merupakan wujud kekerasan kebudayaan. Logikanya, KPK sebagai institusi hukum telah menjadi bagian penting dari budaya etik publik, di mana kekuatan nilai dan moral dibangun. Nilai merupakan semesta  ide, pengalaman, dan pengetahuan yang dirumuskan menjadi konsep ideal (benar, baik, dan indah) atas kehidupan. Seseorang yang berorientasi pada nilai ideal biasanya berpikir dan berperilaku benar, baik, serta indah. Benar berarti berbasis pada logika dan nalar. Baik berarti bersandar pada etika publik. Adapun indah berarti bersumber pada kualitas tinggi cita rasa yang turunannya adalah kepantasan atau kelayakan. Praktik kebaikan, kebenaran, dan keindahan bermuara pada martabat seseorang. Berdasarkan pemahaman itu, KPK menjadi peranti kebudayaan (baca: budaya hukum) yang memiliki kekuatan pemaksa bagi penyelenggara negara dan publik untuk tidak melakukan penyimpangan nilai dan moral melalui korupsi. Baik korupsi dalam kekuasaan (jabatan), uang, maupun fasilitas merupakan tindakan anti-kebudayaan karena merusak, bahkan menghancurkan, bangunan nilai peradaban bangsa. Artinya, dengan mewacanakan atau bahkan melakukan tindakan pembekuan/pembubaran KPK, maka oknum-oknum DPR itu telah merusak nilai-nilai kebudayaan dan peradaban bangsa. Ini menjadi ironis karena mereka umumnya adalah kelas menengah yang tercerahkan (terdidik) dan semestinya menjadi ksatria konstitusi. Yakni, aktor-aktor politik yang memiliki horizon nilai dan kekuatan politik untuk mendagingkan nilai-nilai konstitusi dalam kehidupan nyata sehingga publik memiliki makna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Antara "menjadi" dan "sebagai"Untuk  bisa menjadi negarawan, kini sangat sulit bagi politisi. Mereka tidak gampang menundukkan berbagai godaan yang mengepung: dari sikap selalu tunduk pada cash flow (aliran kas, demi memenuhi keinginan hidup mewah sehari-hari) hingga sifat "tidak pernah merasa cukup". Masih juga ditambah kekosongan ideologis. Maka, lahirlah begitu banyak "politikus senyap" atas idealisme alias politikus riuh pragmatisme jangka pendek. Kekayaan pun menenggelamkan kemuliaan kemanusiaan. Aras-arasen (sifat malas) untuk menjalankan tugas- tugas filantropis secara kultural pun semakin berjangkit dalam diri kaum politikus. Watak dan sikap tulus mendermakan  atau mewakafkan diri dalam penyelenggaraan perubahan menuju peradaban bangsa yang lebih berkualitas kini semakin langka dimiliki. Budaya material menjadi faktor determinan yang telah menjauhkan kaum politikus dari langgam kehidupan berbasis kultural. Maka, terminologi yang layak dipakai-meminjam teori drama-bukan lagi "menjadi politikus", melainkan "sebagai politikus". "Menjadi politikus" merupakan terminologi yang menegaskan seseorang pada kesejatian eksistensial, di mana integritas, kapabilitas dan komitmen, serta dedikasi luluh di dalam tindakan. Pencapaian ini mendorong seseorang memiliki karakter. Menjadi politikus bukan pekerjaan mencari kekayaan, melainkan panggilan jiwa untuk mendedikasikan seluruh kapasitas kemampuan dirinya pada kepentingan publik. Passion pun menjadi kata kunci.   Adapun terminologi "sebagai politikus" cenderung menegaskan seseorang pada peran dan fungsi: "sekadar" menjalankan profesi dan tidak selalu memiliki pertautan ideologis. Yang diutamakan bukan kualitas output atas kinerja yang berdampak pada kelayakan kehidupan publik, melainkan keharusan menjalankan pekerjaan.Mimpi menjadi negarawan kini menjadi terlalu mewah bagi kaum politikus. Di tengah keputusasaan politik, rakyat sudah trimo (mau menerima) jika mereka mampu menjadi politikus yang baik. Ukurannya tidak harus muluk-muluk, yakni mampu konsisten menjalankan konstitusi yang berpihak pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan para juragan politik atau penguasa modal. Jika hal itu bisa diwujudkan, rakyat pun bisa menikmati guyuran kesejahteraan, bukan sekadar crat-crit/menetes tak menentu atau kesejahteraan yang berkala, yakni kala-kala ada dan kala-kala tidak. Dalam konteks itu, memberantas korupsi menjadi kewajiban penyelenggara negara. Menjadi aneh, dalam kegentingan bangsa kita yang dihajar habis oleh korupsi, muncul wacana atau tindakan untuk membekukan/membubarkan KPK. Ini sangat bertentangan dengan nalar dan spirit konstitusi. Membekukan dan membubarkan KPK sama artinya memberikan ruang luas bagi perilaku barbar para koruptor. Jadi, kenapa para koruptor mesti dibela?INDRA TRANGGONOPemerhati Kebudayaan dan Sastrawan

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000