logo Kompas.id
OpiniJalan Baru Pembumian Pancasila
Iklan

Jalan Baru Pembumian Pancasila

Oleh
Airlangga Pribadi Kusman
· 5 menit baca

Ketika sentimen kebencian atas nama perbedaan identitas dan pembelahan sosial akibat hilangnya solidaritas bersama semakin meruncing, saat ini timbul kesadaran menghadirkan Pancasila sebagai perekat bangsa. Harapan baru ini muncul dengan sebuah pesan, jangan sampai pembumian Pancasila mengulangi model penataran P4 ala Orde Baru. Pertanyaan selanjutnya, yang harus diklarifikasi adalah apa yang salah dengan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) ala Orde Baru dan ke mana arah jalan pembumian kembali Pancasila agar relevan dengan tantangan hidup bernegara saat ini?           Kesadaran membumikan Pancasila dalam kehidupan bernegara menemukan langkah konkretnya saat Presiden Joko Widodo, beberapa waktu lalu, meresmikan dan melantik Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Unit kerja ini diketuai oleh Yudi Latif, serta masuk sebagai Dewan Pengarah di antaranya Megawati Soekarnoputri, Buya Ahmad Syafii Maarif dan KH Said Aqil Siroj. Sehubungan dengan momen pelantikan lembaga baru pengawal ideologi Pancasila tersebut, harapan muncul agar pembumian Pancasila dapat menyegarkan kehidupan berbangsa yang tengah menghadapi krisis kehidupan berbangsa.Sebelum kita mendiskusikan praktik pembumian Pancasila yang relevan dengan kehidupan aktual demokrasi dan sejalan dengan warisan para pendiri republik (the founders of republic), ada baiknya kita menginsafi bahwa hadirnya acuan moral inklusif yang dapat mewadahi perbedaan identitas sangat penting dalam merawat kesehatan kehidupan republik. Profesor politik internasional, Fawaz A Gerges, dalam karyanya, ISIS: A History (2016), menjelaskan bahwa menyebarnya paham dan kelompok teroris ini di Suriah, Irak, dan negara-negara Timur Tengah berlangsung karena terkondisikan oleh keadaan. Yakni ketika kehidupan bernegara tak lagi memiliki jangkar moral yang terbuka dan mengayomi segenap identitas- identitas kultural yang ada di sana. Ketiadaan jangkar moral bersama inilah yang membuat di berbagai tempat, di mana tiap-tiap kelompok tidak lagi dapat membayangkan hidup bersama dalam puspa-ragam identitas. Mereka pun lalu ingin menempatkan identitas kultural kelompoknya lebih tinggi daripada yang lain. Pembumian PancasilaPemaknaan terhadap Pancasila yang berlangsung pada era Orde Baru, melalui sosialisasi penataran P4, tidak sejalan dengan semangat bernegara pada era demokrasi. Pada era Orde Baru, Pancasila digunakan sebagai sarana penundukan terhadap setiap warga negara agar mematuhi seluruh skema pembangunan yang berjalan dari atas. Ia juga sekaligus alat pemangkas kesadaran kritis warga negara dalam hidup bernegara. Sosialisasi Pancasila yang dilaksanakan sebagai instrumen dogmatis aparat negara ini terbukti tidak bertahan oleh ujian waktu, yakni ketika rezim Orde Baru tumbang. Sebagai bukti, setelah jatuhnya rezim Orde Baru, kita menyaksikan bahwa sebagian warga tidak hafal lima sila dari Pancasila. Bahkan, saat ini hampir tidak ada warga negara yang pernah hidup dalam era penataran P4 masa Orde Baru yang masih menghafal 36 butir-butir Pancasila. Sementara dalam keadaan absennya jangkar moral kolektif yang terbuka, sentimen penguatan identitas tumbuh dengan kehendak untuk menegasikan mereka yang dianggap berbeda (liyan) dalam ruang hidup bernegara setelah Orde Baru. Jalan baru pembumian Pancasila seperti yang akan dijalankan oleh UKP-PIP hendaknya menempatkan Pancasila sebagai acuan moralitas publik. Acuan jangkar moral bagi warga negara tak lain adalah untuk menjalani kehidupan yang baik demi pemenuhan dimensi-dimensi dari kemanusiaan kita. Kehidupan civic-patriotism--meminjamMaurizio Viroli (2003) dalam For Love of Country: An Essay on Patriotism and Nationalism-adalah ketika di mana segenap warga negara menjadikan opresi, penindasan, diskriminasi sosial, korupsi adalah musuh republik. Jadi, bukan identitas yang berbeda yang menjadi musuh bangsa ataupun sentimen nasionalisme sempit sebagai sesuatu yang dibanggakan.  Kehidupan yang baik dalam tatanan negara demokratik, sebagaimana disinggung oleh Hannah Arendt (1958) dalam The Human Condition adalah dalam wujud mendudukkan setiap persoalan melalui argumen dan persuasi, bukan kekerasan dan paksaan. Kehidupan yang baik adalah bahwa setiap warga negara mendapatkan respek untuk hidup dalam kesetaraan dan mendapatkan pengakuan atas hak-hak sipil, politik, ataupun ekonomi-sosial dan budaya. Kehidupan yang baik adalah di mana tiap-tiap orang memiliki kepedulian terhadap yang lain dengan segenap puspa-ragam identitasnya dalam semangat gotong royong.Merawat demokrasi Dalam jalan baru pembumian Pancasila, semangat cinta Tanah Air ditempatkan sebagai kemauan untuk merawat institusi politik demokrasi dan kemerdekaan sosial-politik dan sosial-ekonomi dari segenap warga negara. Dengan begitu, semangat cinta Tanah Air tidak akan tersandera dan dibelokkan untuk melegitimasi semangat populisme kanan yang sempit, yang memilah-milah bangsa ini dalam konstruksi pemilik rumah dan tamu, pribumi dan non-pribumi. Sebetulnya, jalan baru pembumian Pancasila dalam semangat republikanisme ini tidaklah asing dalam proses perjalanan kehidupan bangsa kita. Teladan-teladan yang bisa disebut sebagai Pancasila yang berjalan dapat kita ambil, misalnya, dalam jejak langkah para tokoh bangsa. Sebutlah seperti pada mendiang Nurcholish Madjid dan KH Abdurrahman Wahid. Dalam keteladanan Nurcholish Madjid, kita dapat menemukan bagaimana beliau berusaha memberikan penyadaran tentang pentingnya kontekstualisasi ajaran Islam agar sejalan dengan ruang hidup berdemokrasi dan kewargaan yang setara melalui pandangannya tentang masyarakat madani. Sementara keteladanan yang ditunjukkan oleh KH Abdurrahman Wahid mendidik kita tentang aktualisasi moralitas publik, yang menghormati kebinekaan Indonesia dan penghormatan terhadap aspirasi-aspirasi dari kaum marjinal.  Pada akhirnya, pembumian Pancasila saat ini adalah sebuah kerja humanitas menuju kemanusiaan kita. Suatu kerja yang mengingatkan kita akan spirit kebangsaan yang pernah diuraikan oleh Bung Karno beberapa waktu yang silam. Bahwa, "Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari gebyarnya atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi haruslah mencari selamatnya manusia. Nasionalisme kita haruslah lahir dari menselijkheid. Nasionalismeku adalah nasionalisme kemanusiaan, seperti diutarakan oleh Gandhi."Airlangga Pribadi KusmanPengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Koordinator Komunitas Literasi The Initiative Institute

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000