logo Kompas.id
OpiniReferendum Kemerdekaan Kurdi...
Iklan

Referendum Kemerdekaan Kurdi Irak

Oleh
Smith Alhadar
· 6 menit baca

Kendati ditentang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa  dan negara-negara regional, Pemerintah Regional Kurdistan Irak tetap menyelenggarakan referendum kemerdekaan pada 25 September.Bagi orang Kurdi yang mengalami penindasan politik dan budaya sepanjang sejarahnya, keinginan untuk menjadi bangsa yang merdeka telah berkembang sejak paruh kedua abad ke-19. Namun, keinginan ini selalu dipadamkan rezim Irak, Iran, Turki, dan Suriah sekaligus dikhianati negara-negara besar. Setelah Perang Dunia I, Inggris dan Perancis sepakat membagi Timur Tengah dengan mengabaikan kemerdekaan bagi Kurdi- sesuai permintaan pemimpin Turki, Mustafa Kemal Ataturk- yang sebelumnya dijanjikan Inggris. Wilayah Kurdi Raya berada di irisan antara negara Turki, Irak, Iran, dan Suriah dengan total populasi 35 juta jiwa. Inilah etnis terbesar di dunia yang belum memiliki negara.Embrio peluang kemerdekaan Kurdistan Irak terkuak secara tidak sengaja setelah Perang Teluk 1991 ketika koalisi internasional pimpinan AS memberlakukan zona larangan terbang di Irak utara, wilayah Kurdistan, untuk melemahkan rezim Presiden Saddam Hussein dan melindungi etnis Kurdi. Tahun 1988 wilayah ini diserang pasukan Saddam dengan senjata kimia dan menewaskan 50.000 orang Kurdi.Semiotonomi AS pun mempersenjatai orang Kurdi yang sejak itu mendirikan pemerintahan semiotonomi. Invasi AS ke Irak pada 2003 yang menjatuhkan rezim Saddam berujung pada didirikannya Republik Federal Irak. Pemerintah Regional Kurdistan (KRG) pun dibentuk meski masih bagian dari negara Irak. Peluang kemerdekaan makin terbuka ketika Irak dilanda perang sektarian antara Arab Sunni dan Syiah serta perlawanan mereka terhadap pendudukan AS (2003-2011). Tiga tahun lalu, KRG di bawah Presiden Masoud Barzani berencana menyelenggarakan referendum kemerdekaan, tetapi ditunda terkait perang melawan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Rencana referendum Oktober 2016 kembali ditunda  karena bertepatan dengan perang pembebasan Mosul. Setelah Mosul, ibu kota de facto NIIS di Irak, dibebaskan pada Juli 2017, KRG tak mau lagi referendum ditunda, meski semakin banyak negara yang meminta ditangguhkan, mengingat atmosfer politik kawasan yang tidak kondusif serta konflik di internal KRG. Pemerintah Irak, Iran, Turki, dan Suriah menentang referendum. Kelompok-kelompok minoritas di wilayah KRG, seperti Turkmen, Assyria, Kaldea, Yazidi, Arab, Kristen, dan sebagian orang Kurdi, juga menginginkan Irak tetap utuh. Khusus Unit Perlawanan Sinjar (YBS), kelompok bersenjata Yazidi, menentang referendum. Bisa dipastikan mayoritas rakyat Kurdi akan memilih "ya" untuk kemerdekaan Kurdi mengingat dua partai utama, Partai Demokrasi Kurdi (KDP) pimpinan Barzani dan Partai Uni Patriotik (PUK) pimpinan mantan Presiden Irak Jalal Talebani, mendukung referendum. Ada tiga alasan mengapa referendum tetap dijalankan. Pertama, memanfaatkan  momentum. Mumpung tentara Irak sedang menghadapi NIIS di berbagai kantong di Irak. Menunggu sampai perang tuntas sama artinya dengan membuang kesempatan emas yang mungkin tidak akan datang lagi. Kedua, pemerintahan Perdana Menteri Haidar Al-Abadi sangat lemah saat ini sebagai akibat salah urus pemerintahan, korupsi, kemiskinan, dan terpuruknya ekonomi. Tuntasnya perang melawan NIIS akan mengangkat kembali popularitas Al-Abadi yang akan mendorongnya bersikap keras terhadap KRG untuk mempertahankan posisinya demi pemilu yang akan berlangsung tahun depan. Ketiga, KRG menganggap referendum sebagai isu internal Irak. Hasil referendum tidak mengikat, yang berarti masih dalam koridor Konstitusi Irak dan hukum internasional. Barzani berdalih, Irak adalah negara perserikatan (union) dan bukan kesatuan (unity). Walaupun hasil referendum memperlihatkan mayoritas rakyat Kurdi memilih "ya", proklamasi kemerdekaan tidak akan dilakukan. Ini untuk menetralisasi argumen bahwa referendum bertentangan dengan Konstitusi Irak dan hukum internasional. Memang hasil "ya" akan berarti deklarasi kemerdekaan, tetapi ini hanya strategi untuk memperkuat posisi KRG dalam penentuan nasib dengan Baghdad setelah referendum.Faktor pemercepatKendati aspirasi kemerdekaan telah lama hidup dalam hati rakyat Kurdi, situasinya dipercepat oleh tiga hal. Pertama, ketika mengalami serangan NIIS pada Juni 2014, tentara Irak lari dari gelanggang pertempuran meninggalkan milisi Kurdi (Peshmerga) menghadapi NIIS sendirian. Vakumnya Baghdad di Irak utara, de facto dan de jure, membuat KRG terpisah dari pusat. Kedua,  pemerintahan Baghdad bersifat sektarian. Kritik Barzani terhadap kebijakan Baghdad yang memecah belah rakyat Irak dibalas dengan menahan anggaran untuk KRG. Paradoksnya, ini justru membuat ekonomi KRG kian mandiri dari pusat dengan mengekspor minyak ke Turki. Ketiga, kesepakatan Barzani dengan Baghdad tentang mendirikan negara sipil yang demokratis tidak dilaksanakan Baghdad. Permintaan Barzani agar dibangun kemitraan antara Baghdad dan KRG dengan mengintegrasikan Peshmerga ke dalam angkatan bersenjata Irak untuk memperbesar kekuasaan Kurdi juga ditolak. Referendum  juga dilaksanakan di Kirkuk, Makhmour, Sinjar, Khanaqin, Bashiqa, dan Singal yang, walaupun terdapat etnis Kurdi di dalamnya, tidak termasuk wilayah KRG. Peshmerga memperoleh kota-kota ini setelah berhasil mengusir NIIS, tetapi ini juga menjadi sumber pertikaian dengan Baghdad.DK PBB keberatan referendum dilaksanakan saat perang melawan NIIS di Irak belum selesai dan ada berbagai macam persoalan yang lebih mendesak untuk segera ditangani Pemerintah Irak, seperti  pembangunan kembali Irak dari kehancuran perang dan nasib jutaan pengungsi yang mengenaskan. Lagi pula kemerdekaan Kurdi akan menciptakan masalah baru yang rumit, mengacaukan perang melawan NIIS, dan menjadi faktor destabilisasi kawasan. Untuk membujuk KRG menunda referendum, AS, Inggris, dan PBB menawarkan opsi alternatif, antara lain menunda referendum hingga minimal dua tahun, sponsor dialog Baghdad- Kurdistan dari PBB untuk mencapai kesepakatan pembagian minyak dan gas, serta peningkatan peran parlemen Kurdistan sehingga perannya setara dengan parlemen negara merdeka. Lebih jauh, Washington menjanjikan akan membantu KRG mendapatkan hasil lebih baik dalam negosiasi dengan Baghdad kelak kalau referendum ditunda. Namun, Barzani menolak karena opsi itu tidak menjanjikan kemerdekaan bagi Kurdistan.Di lain pihak, referendum akan mendorong Baghdad, Iran, dan Turki mengambil dua jalan untuk membatalkan hasil referendum. Pertama, menerapkan sanksi ekonomi dan blokade darat dan udara. Aliran minyak KRG ke Turki dan Iran akan dihentikan. Sebagai wilayah tak berpantai (landlocked), sanksi ekonomi dan blokade ini akan "mematikan" KRG.  Kedua, mengirimkan tentara ke wilayah KRG, tak peduli Irak akan dirundung kekacauan lagi. Bagi Baghdad, referendum akan berarti Irak kehilangan wilayah. Lebih jauh, potensi ekonomi Irak akan menurun drastis setelah lepasnya  Kirkuk, wilayah yang sangat kaya gas dan minyak bumi, ke tangan KRG. Bagi Iran, Turki, dan Suriah, kemerdekaan Kurdi Irak akan menambah daya dorong komunitas Kurdi di negara-negara itu untuk juga mengupayakan kemerdekaan. Inilah alasan sesungguhnya di balik penolakan mereka terhadap referendum.Melihat realitas politik di atas, referendum berpotensi menciptakan perang baru di Irak dan destabilisasi kawasan. Namun, Barzani telah membawa Kurdi Irak ke point of no return. Membatalkan referendum sama artinya dengan bunuh diri politik. Isu referendum  telah beralih dari tangan Barzani ke ranah publik. Semoga saja perang saudara tidak terjadi dan negara-negara regional menahan diri dari intervensi militer. Selain tidak akan memproklamirkan kemerdekaan, Barzani justru membuka peluang untuk penyelesaian diplomatik krisis Kurdistan.  Smith AlhadarPenasihat ISMES, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000