Baru-baru ini, pemerintah meluncurkan program kredit ultra-mikro untuk mendukung usaha ultra-mikro. Jumlahnya lebih dari 40 juta unit usaha atau lebih dari 90 persen total unit usaha di Indonesia.
Penyaluran kredit dilaksanakan dengan mengikutsertakan koperasi. Usaha ultra-mikro menyediakan pekerjaan untuk sedikitnya 40 juta orang. Jika kredit usaha ultra-mikro dapat mengembangkan 10 juta unit usaha dan menambah 1 tenaga kerja , berarti terbuka pekerjaan untuk 10 juta orang.
Yang perlu dicermati adalah apakah pemberian kredit ultra-mikro saja sudah cukup untuk mendorong perkembangan usaha ultra-mikro?
Mari kita tengok sedikit situasi hari ini. Pertama, kebijakan ekonomi dengan pola usaha individual, yang berorientasi pada kompetisi dan pengumpulan keuntungan oleh pemilik modal, telah melahirkan kesenjangan.
Kedua, kesenjangan antara lain tampak pada 98,8 persen unit usaha adalah mikro, 1 persen usaha kecil, dan selebihnya 1 persen usaha menengah dan 0,01 persen usaha besar.
Ketiga, kesenjangan juga tecermin dalam kepemilikan aset, 10 persen terkaya di Indonesia memiliki 77 persen aset dan 1 persen memiliki lebih dari 50 persen kekayaan negeri.
Untuk mengubah situasi ini tentu perlu strategi berbeda, dan sudah semestinya jika kita serius menelaah strategi pengembangan ekonomi yang berbasis gotong royong atau kebersamaan sebagai strategi ”penyeimbang”.
Berbasis kebersamaan
Kita sebagai bangsa yang berkarakter gotong royong sebenarnya sudah menyadari pentingnya membangun ekonomi yang berbasis kebersamaan. Itulah koperasi, yang sering disebut sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Di sejumlah negara, peran koperasi pada ekonomi warga dapat dilihat dari International Cooperative Alliance.
Pada 2014, di Amerika Serikat 20.000 koperasi membuka 2 juta pekerjaan, di Perancis 21 ribu koperasi memberi pekerjaan 1 juta orang. Di Jepang 91 persen petaninya anggota koperasi dengan nilai usaha lebih dari 90 miliar dollar AS. Di Selandia Baru, koperasi menguasai 95 persen produk berbasis susu (dairy products) dalam negeri dan ekspor.
Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM per Maret 2017, jumlah koperasi aktif di Indonesia sekitar 150.000 unit, 26 juta anggota, volume usaha setahun Rp 175 triliun, dan sisa hasil usaha Rp 8 triliun, menyerap sekitar 350.000 tenaga kerja.
Sayang, persepsi orang terhadap koperasi kebanyakan sekadar koperasi simpan pinjam , lengkap dengan berbagai pengalaman pahit masyarakat. Sedemikian merasuknya citra koperasi sebagai koperasi simpan pinjam, dalam paparan strategi ekonomi di Indonesia Development Forum 2017, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas memasukkan koperasi dalam skema keuangan mikro, tak menyebut koperasi sebagai strategi utama dalam pengembangan ”Industri Berbasis Rakyat”.
Kenyataannya, memang jarang kita menemukan koperasi di sektor-sektor riil yang berkembang besar. Hampir seluruh rak di minimarket dan supermarket dikuasai produk pabrikan besar milik segelintir pemodal. Jaringan toko ritel pun dikuasai oleh pemilik modal individual.
Koperasi sebagai strategi
Koperasi bukan (hanya) keuangan mikro atau soal simpan pinjam . Koperasi adalah sistem ekonomi yang menggunakan paradigma berbeda (atau kebalikan) dari kapitalisme, mendasarkan diri pada basis ”strategi” yang berbeda dibandingkan bisnis privat CV dan PT. Secara garis besar, koperasi berfondasi pada kebersamaan dan orang, sedangkan usaha privat mengandalkan individu dan modal.
Selain perbedaan model pengelolaan, karakter kebersamaan dalam koperasi juga melahirkan keharusan adanya manajemen terbuka yang dapat menghindarkan praktik-praktik usaha tidak adil. Koperasi mestinya dapat bebas dikembangkan untuk segala jenis usaha, membentuk ekosistem yang saling menunjang.
Kredit usaha ultra-mikro akan sangat strategis jika usaha ultra-mikro dikembangkan sebagai koperasi dalam segala variasi usaha. Pendampingan usaha dilaksanakan untuk memastikan koperasi usaha ultra-mikro melaksanakan mekanisme bertumbuh bersama. Apalagi, penyaluran kredit usaha ultra-mikro dilaksanakan melalui koperasi, bisa langsung terbentuk model-model linkage antarkoperasi berbagai sektor riil dengan koperasi penyalur kredit.
Semua pemangku kepentingan terkait koperasi dan usaha mikro kecil perlu duduk bersama mengembalikan koperasi pada potensinya sebagai strategi jitu mengembangkan usaha mikro kecil, melengkapi kredit ultra-mikro yang telah diinisiasi pemerintah. Bila puluhan juta usaha mikro membangun usaha bersama, kita sebagai bangsa akan punya jaring pengaman ekonomi yang kokoh dan berkeadilan.
Dewi Hutabarat, Pengurus Kadin Indonesia Bidang UMKM dan Koperasi; Pengurus Asian Solidarity Economy Council-Indonesia; Direktur Eksekutif Sinergi Indonesia Foundation