Sebuah langkah telah diambil. Komisi Pemilihan Umum mewajibkan partai politik peserta pemilu memasukkan data ke sistem yang disiapkan.
Sipol adalah nama sistem itu. Kepanjangannya Sistem Informasi Partai Politik. Pada Pemilu 2014, Sipol sudah diterapkan meskipun belum diwajibkan. Kali ini selangkah lebih maju, penerapannya bersifat memaksa.
Parpol yang tidak memasukkan data ke dalam Sipol tidak dapat mendaftar sebagai peserta Pemilu 2019. Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2017, Pasal 13, Ayat (5), menegaskan hal itu.
Data yang diinput meliputi data kepengurusan parpol tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga kecamatan; data keanggotaan parpol tingkat kabupaten/kota; dan data pendukung sebagai pemenuhan syarat parpol menjadi peserta pemilu.
Namun, sebagaimana biasa setiap perubahan dilakukan, pasti memunculkan pro dan kontra. Ada pihak yang merasa berkeberatan, ada juga yang mengapresiasi.
Salah satu kritik, Sipol belum bisa diterapkan di sejumlah daerah. Nomor induk kependudukan (NIK) di sejumlah daerah juga belum sepenuhnya dapat diidentifikasi. Data beberapa kelurahan yang baru saja dimekarkan pun belum masuk dalam sistem.
Waktu yang singkat, yang hanya 14 hari, juga dirasa menyulitkan parpol. KPU pun belum membuka layanan 24 jam untuk memberikan penjelasan. Kondisi ini dikhawatirkan bisa menggagalkan parpol menjadi peserta pemilu.
Kalangan masyarakat sipil juga mengkritik Sipol yang belum dapat diakses publik akan melemahkan partisipasi publik dalam verifikasi. Badan Pengawas Pemilu juga belum bisa mengaksesnya.
Sementara itu, manfaat yang dirasakan adalah memudahkan parpol menertibkan sistem administrasi. Parpol juga lebih mudah mengintegrasikan data.
Bagi KPU selaku penyelenggara pemilu, sistem pendataan digital ini tentunya memudahkan verifikasi administrasi maupun verifikasi faktual yang waktunya hanya singkat, yaitu 30 hari setelah batas akhir pendaftaran. Duplikasi data keanggotaan, baik di dalam partai maupun antarpartai, menjadi mudah terdeteksi, termasuk adanya pengurus yang merupakan unsur TNI, Polri, ataupun aparatur sipil negara. Ikutannya, parpol tentu menjadi sehat karena tidak akan ada eksistensi parpol yang sekadar papan nama atau hanya ada di kertas.
Di tengah masih ada ketidaksempurnaan, langkah KPU perlu didukung sambil terus menyempurnakannya, seperti yang diharapkan Badan Pengawas Pemilu. Ada pepatah, ”Setiap perubahan, meskipun perubahan yang lebih baik, pasti ada ketidaknyamanan. Dan, ketidaknyamanan itulah yang harus diubah menjadi kenyamanan”.