inilai tidak memenuhi standar nasional pendidikan tinggi, izin operasional 25 perguruan tinggi swasta di sejumlah daerah dicabut.
Ke-25 perguruan tinggi swasta (PTS) yang dicabut izinnya tersebut merupakan bagian dari 192 PTS yang dicabut izinnya sejak dua tahun terakhir. Ibarat perusahaan, 25 PTS bersangkutan pailit. Klausul kepailitan secara legal menjadi acuan.
Jutaan mahasiswa jadi korban pertama—baru kemudian yang lain-lain—tidak hanya fisik-materi, tetapi terutama psikis-putus kuliah. Dari sisi itu, menyangkut akibat kedua, kementerian dan yayasan PTS bersangkutan perlu ikut memberikan bantuan, berdasarkan variabel pelanggaran yang dilakukan.
Mungkin baru era ini terjadi pencabutan izin operasional yang terencana, terstruktur, dan terbuka. Terencana sebab dilakukan melalui tahap teguran dan pemberian kesempatan pembenahan selama 6-12 bulan. Terstruktur sebab dilakukan sebagai bagian upaya peningkatan mutu dan pembenahan menyeluruh proses pendidikan tinggi. Terbuka sebab diumumkan kepada publik.
Bersama program akreditasi yang dilakukan tiap dua tahun dan pemeringkatan perguruan tinggi (PT), pencabutan izin operasional, kita perlu sampaikan dukungan. Target masuk dalam kluster 500 perguruan tinggi terkemuka dunia (saat ini baru tiga), atau bertambahnya jumlah PT Indonesia dalam kluster 100 perguruan tinggi Asia, itu pun pelecut perbaikan terus-menerus.
Tridarma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat) tetaplah acuan. Pembenahan struktur menjadi instrumen dasar pelaksanaan tridarma. Dengan demikian, kriteria akreditasi dan pembenahan infrastruktur saling menunjang. Pencabutan izin operasional merupakan ”cara dan pilihan terakhir”.
Membeludaknya jumlah PTS merupakan mata rantai permintaan masyarakat. Dari sekitar 4.500 PT, lebih dari 4.000 di antaranya PTS. Itu baru jumlah, belum soal mutu dan soal link andmatch-nya dengan dunia kerja.
Kebijakan itu diikuti dampak negatif, di antaranya pengagungan gelar sarjana, yang lantas dicapai dengan segala cara, termasuk praksis pendidikan yang tidak memenuhi syarat, jual beli ijazah PT ”abal-abal”.
PTS yang seharusnya jadi partner negeri sebagian di antaranya tidak lebih dari ”toko kelontong”. Karena itu, dalam hal korban, mahasiswa jangan jadi tumpuan umpatan: ”loe, salah sendiri. Lain kali jeli, dong!”