AS, negara dengan sumber daya dana dan perlengkapan berlim- pah, seperti tak berdaya mema- damkan kobaran api yang me- newaskan minimal 40 orang.
Seperti kita baca Senin (16/10), meski sudah mengerahkan sekitar 10.000 petugas pemadam kebakaran, didukung helikopter dan pesawat pemadam kebakaran yang menyemprotkan 7,6 juta liter bahan pemadam api, kobaran api sulit dipadamkan dan disebut-sebut sebagai kebakaran terparah dalam sejarah California.
Berita itu menambahkan, kebakaran di utara San Francisco meliputi area seluas 865 kilometer persegi, lebih luas dari wilayah New York. Kobaran api melalap 5.700 bangunan yang sebagian besar rumah dan perkantoran.
Sebelum ini kita mendengar praktis tiap tahun ada kebakaran lahan di Negara Bagian California di AS. Laporan kebakaran lahan juga acap kita dengar dari Kanada, Indonesia, dan juga Australia.
Jika di Indonesia kebakaran lahan sering dikaitkan dengan sengaja dibakar untuk memperluas area perkebunan, di California penyebab kebakaran sering dikaitkan dengan panasnya suhu udara, yang memicu terbakarnya area yang rentan.
Cuaca ekstrem tampaknya sudah menjadi realitas mendunia. Saat California dilanda kebakaran hebat, sejumlah negara di Asia seperti China dan Vietnam dilanda banjir hebat. Sebagian wilayah di Indonesia kini juga memasuki musim hujan meski sebagian lainnya masih menunggu tetesan air hujan.
Dari kebakaran di AS kita menyimak, ada kecenderungan bencana kekeringan makin hebat, terbukti bahwa upaya pemadaman api semakin sulit. Dari satu sisi, hal ini menyiratkan, tingkat kekeringan meningkat dan masuk akal hal ini dikaitkan dengan suhu yang kian meningkat.
Ini juga paralel dengan laporan bahwa setidaknya dari tahun 2014 dan sesudahnya disebut sebagai tahun terpanas. Dalam kerangka pencatatan suhu permukaan bumi modern sejak tahun 1880, suhu tahun 2016 menurut catatan NASA dan NOAA naik 0,99 derajat celsius dibandingkan suhu rata-rata di pertengahan abad ke-20.
Ini boleh jadi yang bisa menjelaskan mengapa sumber daya di AS kewalahan menghadapinya. Petugas pemadam baru bisa menjinakkan api setelah kecepatan angin mereda. Ini menyiratkan, meredanya kobaran api disebabkan oleh faktor alam, bukan oleh kemampuan petugas dan teknologi.
Pengalaman ini pantas menjadi bahan renungan kita untuk mengantisipasi kebakaran lahan di Tanah Air. Suhu akan terus meningkat sehingga kebakaran makin mudah terjadi. Kita juga memerlukan sarana dan prasarana lebih memadai untuk menaklukkan api. Terakhir, mengefektifkan manajemen bencana. Mari terus kita simak kejadian di negara lain sebagai sumber pembelajaran.