Setelah hampir lima bulan, krisis Marawi mendekati garis akhir. Presiden Filipina Rodrigo Duterte pun mendeklarasikan, Marawi telah dibebaskan.
Duterte mengunjungi kota di Pulau Mindanao itu sehari setelah Angkatan Bersenjata Filipina mengonfirmasi, dua tokoh kunci milisi yang menduduki kota itu sejak 23 Mei lalu telah tewas. Omarkhayam Maute, satu dari dua bersaudara pemimpin kelompok Maute, dan Isnilon Hapilon, yang disebut-sebut sebagai ”Emir” Kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Asia Tenggara, tewas dalam operasi penyerbuan yang dilakukan pasukan khusus Filipina pada Senin dini hari.
Meskipun masih ada 20-30 anggota milisi yang bertempur, menurut Panglima Angkatan Bersenjata Filipina Eduardo Ano, secara substansial ancaman terorisme di Marawi mulai berakhir. Para milisi kehilangan pemimpin dan tidak lagi terorganisasi. Karena itu, Presiden Duterte berani memastikan, Marawi telah bebas.
Hasil yang dicapai pasukan Filipina ini pantas disambut gembira, terutama oleh puluhan ribu warga yang harus mengungsi. Teror selama 148 hari yang memaksa mereka meninggalkan rumah dan mata pencarian mereka telah berakhir. Kini saatnya untuk pulang, menata hidup di atas puing-puing kota dan membangunnya kembali setelah militer memastikan tidak ada lagi bom rakitan dan ranjau yang ditanam oleh para milisi.
Namun, tugas Pemerintah Filipina tidak hanya membangun kembali Marawi. Kota di tepi Danau Lanao yang indah ini memang porak-poranda setelah diduduki milisi Maute. Manila harus memulihkan infrastruktur fisik, sekaligus memastikan kegiatan ekonomi bergulir dan kehidupan sosial, termasuk pendidikan, kembali normal.
Tugas yang lebih berat adalah memastikan peristiwa serupa tidak terulang. Wilayah Filipina selatan yang terdiri atas gugusan ribuan pulau adalah markas bagi banyak kelompok milisi yang menentang pemerintah. Wilayah ini menjadi lahan yang subur bagi berkembangnya ideologi ekstrem, dan disebut sebagai tempat yang dipilih menjadi pusat NIIS di Asia Tenggara.
Terlebih, Mahmud Ahmad, warga Malaysia yang menurut Institut Analis Kebijakan dan Konflik adalah orang kedua dalam jajaran komando NIIS Asia Tenggara setelah Hapilon, belum diketahui keberadaannya. Tewasnya Hapilon membuat perlawanan meredup, tetapi mereka akan menyusun kekuatan kembali.
Pada saat bersamaan, kekalahan juga diderita NIIS di Irak dan Suriah. Para kombatan asal Asia Tenggara akan pulang dan beroperasi di tempat asal mereka. Karena itu, tak hanya Filipina, negara tetangga, seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura, juga harus waspada. Krisis Marawi mendekati akhir, tetapi kewaspadaan kawasan tak boleh kendur.