Populisme makin menguat di Eropa. Sebastian Kurz, calon kuat kanselir Austria, menyatakan terbuka kemungkinan partai ekstrem kanan masuk koalisi.
Tujuh belas tahun lalu, koalisi pemerintahan Austria dengan partai ekstrem kanan, Partai Kebebasan (FPO) yang merupakan bentukan dari neo-Nazi, pernah terjadi. Saat itu, reaksi Uni Eropa sangat keras. Austria dikucilkan dan dipinggirkan. Namun, kini sikap seperti itu tak bisa diharapkan lagi dari Uni Eropa. Mereka melihat kenyataan bahwa gerakan populisme telah mengakar di hampir semua negara Eropa.
Dalam pemilu Belanda, partai ekstrem kanan menempati urutan kedua. Di Perancis, tokoh ekstrem kanan Marine Le Pen masuk ke babak akhir pemilihan presiden. Di Jerman, untuk pertama kalinya dalam sejarah partai ekstrem kanan Alternatif untuk Jerman (AfD) masuk ke parlemen nasional sebagai partai politik terbesar ketiga dan meraih 90 kursi. Pada pemilu legislatif Austria yang berlangsung pada Minggu (15/10) lalu, partai ekstrem kanan, Partai Kebebasan, bersaing ketat di posisi kedua dengan Partai Sosialis Demokratik (SPO).
Partai pimpinan Kurz, Partai Rakyat (OVP) yang merupakan partai tengah, unggul di urutan pertama. Namun, jangan lupa, selama masa kampanye semangat yang digunakan Kurz ”sangat kanan” terkait pelarangan imigran dan slogan yang mirip Donald Trump, yakni ”Austria yang Utama”. Kurz juga sejak awal membuka opsi untuk melakukan koalisi dengan Partai Kebebasan. Ia tentunya yakin, Uni Eropa kini tak memiliki kekuatan politik yang serupa seperti 17 tahun lalu untuk mengucilkan Austria.
Jika itu yang terjadi, kita harus bersiap menghadapi Uni Eropa yang perlahan condong ke kanan. Kini sudah ada Hongaria, Polandia, Austria yang pemerintahannya kanan, dan kemungkinan Italia menyusul.
Untuk isu migran, misalnya, hampir semua negara anggota Uni Eropa kini telah menerapkan kebijakan yang makin keras, termasuk Jerman, yang pada 2015 menerapkan kebijakan ”pintu terbuka” bagi pengungsi Suriah. Kini, Kanselir Jerman Angela Merkel tunduk pada tekanan domestik untuk mengubah kebijakannya, atau partainya akan kehilangan lebih banyak kursi di kantong-kantong pemilih.
Populisme selalu mencemaskan karena di situ ada semangat ekstremisme dan antipluralisme. Landasannya bisa karena perbedaan agama, etnis, ataupun ras. Di Indonesia, perlu kegigihan terus-menerus untuk menangkalnya, dimulai dari lingkungan sendiri hingga beranjak ke cakupan yang lebih luas sampai ke negara.
Mari kita rawat Pancasila dan semangat NKRI yang selama puluhan tahun telah mampu membentengi negeri ini dari gerakan yang ingin memecah belah persatuan Indonesia melalui isu-isu suku, agama, ras, dan golongan.