Perundingan Brexit yang sudah berlangsung hampir tujuh bulan jalan di tempat. Posisi Perdana Menteri Inggris Theresa May makin terjepit di dalam negeri.
Untuk pertama kalinya, PM May menyatakan kepada publik bahwa perundingan Brexit memasuki tahap yang ”sulit”. Memasuki bulan ketujuh pasca-Inggris secara resmi menyatakan bercerai pada Maret 2017, perundingan jalan di tempat karena belum ada titik temu dalam tiga isu kunci. Ketiganya adalah masalah nasib tiga juta warga Uni Eropa (UE) di Inggris, biaya perceraian yang harus dibayar Inggris, dan nasib perbatasan Irlandia Utara.
Inggris menginginkan agar pada Oktober, bersamaan dengan pertemuan tingkat tinggi Dewan Eropa, perundingan Brexit sudah memasuki tahap selanjutnya, yaitu membicarakan masa depan hubungan dagang antara Inggris dan UE, termasuk akses Inggris ke pasar tunggal Eropa.
Sementara UE baru mau beranjak ke fase berikutnya apabila tiga isu utama itu tuntas. Pada Kamis lalu, May dalam status Facebook-nya menyatakan, 3 juta warga UE yang saat ini tinggal di Inggris akan diizinkan tinggal di Inggris pasca-Brexit. Bagi May, hal ini merupakan bentuk konsesi. Namun, bagi UE, ini belum cukup. Selain dijamin bisa tinggal di Inggris, UE juga menginginkan agar warga mereka tetap dilindungi oleh hukum UE.
Selain itu, untuk biaya perceraian, angka yang dikeluarkan Inggris sebanyak 20 miliar euro, tetapi menurut UE biaya yang harus ditanggung Inggris seharusnya sekitar 80 miliar euro hingga 100 miliar euro. Terkait Irlandia Utara, sampai saat ini belum ada pembahasan spesifik mengenai hal itu. Itu sebabnya, wakil UE dalam perundingan Brexit, Michel Barnier, menyatakan keprihatinannya bahwa perundingan menemui jalan buntu.
Persoalannya, PM May mengalami tekanan besar di dalam negeri, terlebih lagi popularitasnya terus merosot menyusul kegagalan Partai Konservatif merebut kursi mayoritas di parlemen. Kubu Konservatif mengancam bahwa jika May tidak dapat mempertahankan kepentingan Inggris dalam perundingan Brexit, kedudukannya sebagai ketua partai, dan sebagai PM, bisa digeser.
Sentimen nasionalistik juga ikut dimainkan para politisi Inggris yang pro-Brexit, termasuk imbauan agar May mengambil opsi ”keras” (hard Brexit), yaitu meninggalkan perundingan tanpa kesepakatan. Terkait hal itu, May meminta kepada para pemimpin UE agar mengupayakan perundingan berjalan. Para pemimpin UE menyatakan bahwa fase kedua Brexit baru akan dilihat setelah Desember mendatang. Itu berarti permintaan May ditolak.
Bagi UE yang saat ini sedang dirundung isu separatisme di Spanyol, komitmen terhadap persatuan tak akan dilonggarkan. Di balik ketegasannya, UE juga ingin menunjukkan bahwa bercerai dari UE risikonya tidak mudah.