Terinspirasi tulisan Adi Andojo Soetjipto di harian Kompas (16/10/2017) yang menyarankan upaya pencegahan korupsi dengan cara yang membuat jera, saya mengusulkan cara yang mendisiplinkan aparat.
Meski pemerintah sudah berusaha keras memberantas korupsi, kenyataannya justru makin banyak saja yang terjerat operasi tangkap tangan KPK. Bahkan, yang terjerat makin merata, ada pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Semua sama saja.
Sepertinya tugas memberantas korupsi tak boleh hanya diserahkan kepada KPK saja. Untuk menguatkan KPK, perlu undang-undang pembuktian terbalik dan mencegah korupsi baru melalui pembatasan transaksi tunai.
Caranya, semua pejabat yang setara atau lebih tinggi dari eselon IV diberi buku tabungan yang bisa mencatat transaksi pemasukan dan pengeluaran sampai detail. Semua transaksi di atas Rp 5 juta harus melalui bank, tidak boleh tunai. Jika ada transaksi tunai, harus disetorkan ke bank dulu sebelum boleh dibelanjakan. Nilainya memang terletak pada rekaman yang terinci itu, tak boleh ada yang digabungkan. Bagi yang tak patuh, sanksi bisa beragam, dari diturunkan posisinya, dicopot jabatannya, hingga terberat, dipidana.
Misalnya, Anda sebagai pejabat dapat kick back Rp 100 juta, mau dibelikan mobil. Pertama, Anda perlu setor ke tabungan dan melaporkan asalnya. Ini kesulitan pertama. Jika dikatakan komisi jual beli tanah, Anda akan kelabakan menyebut tanah siapa yang dijual. Jika tidak masuk buku tabungan, bagaimana membeli mobilnya?
Demikian pula dengan partai politik. Karena besar kemungkinan subsidi partai politik ditingkatkan, setiap partai wajib punya pembukuan keuangan. Yang tidak patuh kena sanksi berupa penghentian subsidi hingga hukuman pidana. Sumbangan pribadi dan perusahaan ke partai juga tercatat rapi, yang melanggar aturan gampang ditindak.
Buku tabungan disimpan sendiri, orang lain tak boleh tahu. Hanya dalam hal ada kecurigaan, petugas baru bisa meminta buku itu. Jika kementerian punya setara eselon IV ke atas 1.200 orang, dengan program lima tahun, setiap bulan akan ada 20 orang kena pemeriksaan buku tabungan secara acak.
Aparat pajak juga bisa mewajibkan pemilik NPWP punya buku tabungan serupa. Petugas pajak akan banyak terbantu, tidak usah lagi repot-repot mengintip rekening orang.
Rusdi Rasjid, Mantan Ketua RT di Ciputat Timur, Tangerang Selatan
Di Mana Etika?
Menanggapi surat Saudara Sri Handoko dalam rubrik Surat kepada Redaksi (Kompas, 12/10), kami berpendapat sama.
Kami sekeluarga juga menonton acara tersebut pada Selasa, 10 Oktober 2017, tentang OTT. Anggota DPR yang Anda sebutkan merusak forum diskusi yang begitu bergengsi dengan sikap dan kata-kata yang tidak santun.
Kami juga tercengang mendengar ucapannya yang menyakitkan kepada komisi independen-KPK. Wakil rakyat yang seharusnya merakyat dan lemah lembut malah kata-katanya tajam seperti bermusuhan. Kalau tidak ada rakyat, tidak mungkin ada DPR.
Kami juga berharap persoalan dengan KPK lekas selesai karena rakyat sudah lelah mengikuti konflik DPR-KPK. Kepada yang terhormat 560 anggota DPR, tunjukkanlah etika, kecerdasan, dan keluhuran budimu.
Titi Supratignyo, Pondok Kacang Barat, Pondok Aren, Tangerang Selatan
Ibu Kota Pindah
Mengenai pemindahan ibu kota Republik Indonesia yang sekarang di DKI Jakarta, saya usul ibu kota negara tidak dipindah, tetapi dimekarkan saja. Bekasi, Depok, dan Tangerang masuk jadi wilayah DKI Jakarta.
Sebaiknya anggaran digunakan untuk pembangunan infrastruktur/sarana jalan di daerah terpencil untuk meningkatkan perekonomian. Masih banyak daerah sulit dijangkau karena jalan berlumpur dan tanpa lampu.
Dengan pemekaran DKI Jakarta, kantor lembaga pemerintahan bisa dipindah ke Bekasi, Depok, atau Tangerang. Contohnya adalah Kementerian Pertanian di Jakarta Selatan yang arealnya masih luas.
Namun, saya tetap setuju jika ibu kota dipindah ke daerah lain demi persatuan bangsa.
Sebih, Jl Belimbing, Jagakarsa, Jakarta Selatan