KPK saat ini benar-benar sedang menghadapi tantangan yang sangat berat sehubungan dengan kasus megakorupsi KTP-el yang melibatkan begitu banyak politisi dan orang-orang kuat di negeri ini.
Berdasarkan rekam jejaknya selama ini, KPK dengan langkahnya selalu terbukti benar di pengadilan. Rekam jejak politikus yang semula diduga terlibat dalam megakorupsi itu: beberapa kali diduga melakukan pelanggaran hukum, tetapi—anehnya—selalu berhasil meloloskan diri.
KPK juga mendapat serangan bertubi-tubi dari Panitia Angket untuk KPK. Serangan itu kontroversial, lebih menyerupai serangan monster raksasa yang meradang dan siap menerkam KPK karena dianggap telah mengganggu kenyamanan dan harga diri sang monster.
Kasus skandal KTP-el juga sudah menelan korban jiwa: Johanes Merlim, pengusaha muda asal Indonesia di AS, yang merupakan saksi kunci dan harus kalah menghadapi aktor-aktor jahat dan licin di balik skandal ”berkelas premium” ini. Namun, informasi baru yang berhasil ditemukan FBI (AS) diharapkan dapat mengungkap rangkaian misteri kematian pengusaha muda tersebut.
Dengan dijalinnya kerja sama antara KPK dan FBI, KPK ibarat mendapatkan teman seperjalanan yang akan mendukung dan memberikan kekuatan moril.
Saya usulkan dua hal. Pertama, KPK fokus pada pengungkapan skandal KTP-el sampai ke akar-akarnya terlebih dulu hingga dilimpahkan ke pengadilan daripada melakukan OTT-OTT baru. Kedua, mempertimbangkan berat dan rumitnya kasus ini, serta mengingat peristiwa sebelumnya yang menimpa personel KPK terkait dengan tugasnya, kami usulkan agar yang berwenang memberi perlindungan keamanan/keselamatan kepada tokoh-tokoh kunci di KPK.
Rakyat mengharapkan skandal megakorupsi ini benar-benar terungkap tuntas. Uang jarahan dikembalikan ke negara. Para pelaku dihukum seberat-beratnya tanpa harus ada lagi yang dikorbankan untuk mengaburkan jejak kejahatan.
S Sunari S, Kelapa Dua, Jakarta Barat
Ramai Minta Prapengadilan
Saya bukan sarjana hukum. Saya sering bingung dengan kejadian ini: KPK sudah menetapkan seseorang sebagai tersangka dan yang menentukan atau memutuskan ini terdiri dari beberapa orang pengurus KPK, tetapi dengan mudah dapat dicabut keputusannya hanya oleh seorang hakim di sidang prapengadilan.
Maka, kami mengusulkan agar hakim prapengadilan juga banyak—misal ada lima hakim pra pengadilan—sehingga putusannya mantap dan akan betul-betul adil.
F Pudiyanto Suradibroto, Jl Mandolin, Kelapagading, Jakarta Utara
Wisata Literasi
Literasi di setiap sudut kota Yogyakarta sudah dihidupkan sejak dulu: di pojok-pojok gang, di sekolah-sekolah, di masjid-masjid, atau di rumah-rumah ibadah lainnya. Kesadaran tentang perlunya perpustakaan di Yogyakarta sangat tinggi, tetapi akhir-akhir ini tergeser sedikit-demi sedikit. Anak-anak lebih senang mencari bahan belajar bukan dari perpustakaan, melainkan dari internet.
Pada berita Kompas (2/10), ”Literasi, Hidupkan Perpustakaan Sampai ke Pelosok”, tersua bahwa berdasarkan data Programme for International Student Assessment (PISA), lebih dari 50 persen anak Indonesia berusia 15 tahun tidak memiliki kemampuan dasar yang baik dalam membaca.
Saya sebagai pendidik sangat prihatin. Anak-anak Indonesia tidak memiliki dasar kemampuan yang baik dalam membaca. Siapakah yang harus kita salahkan? Guru di sekolah? Orangtua di rumah?
Membaca bisa merupakan kegiatan rutin dan dimulai di rumah. Orangtua kasih teladan di rumah: membaca pada jam-jam bersama di rumah, entah malam entah akhir pekan. Jika hal itu dilakukan oleh setiap rumah tangga, maka anak-anak akan terbiasa membaca.
Orangtua juga perlu membawa anak-anaknya wisata literasi (perpustakaan, toko buku, dan lain-lain). Mari kita mulai sejak dini. Efeknya akan membesar bila sekolah menghidupkan perpustakaan ramah anak.
Dengan itu, kita bisa menunggu hasilnya 5-10 tahun yang akan datang. Data PISA akan jauh berubah ke arah yang baik.
Roidah, Jl Monjali Gemawang, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta