Final ATP Next Gen dan Momentum Kebangkitan Rusia
Di dunia tenis, Rusia melejit menjadi pusat perhatian dunia berkat sepak terjang para petenis putrinya yang terkenal molek. Paling fenomenal adalah kemunculan Anna Kournikova dengan kecantikan wajah dan kemolekan lekuk tubuhnya pada akhir 1990-an. Meski tak pernah menjadi juara Grand Slam, Kournikova menjadi momentum munculnya generasi petenis putri Rusia yang kemudian mendominasi kelompok elite putri pada awal 2000-an hingga sekitar tahun 2005.
Sejak era Kournikova pula, tenis putri Rusia mulai menapaki sejarah di arena Grand Slam lewat petenis molek lainnya, Maria Sharapova yang merebut gelar di Wimbledon pada 2004. Pada tahun itu pula, tiga dari empat gelar Grand Slam putri direbut petenis-petenis Rusia. Selain Sharapova, Anastasia Myskina juga merebut gelar di Roland Garros dan Svetlana Kuznetsova di Flushing Meadows.
Sejak saat itu, tenis Rusia seolah-olah menjadi milik para atlet putrinya yang kemudian menjadi selebritas dunia terutama lewat sepak terjang Sharapova. Berada di Amerika Serikat sejak usia 9 tahun dalam asuhan pelatih kelas dunia Nick Bollettieri, Sharapova bukan hanya menjelma menjadi selebritas tenis dengan pendapatan tertinggi, tetapi juga petenis Rusia paling sukses dengan lima gelar Grand Slam-nya.
Keberhasilan Sharapova, yang masih kompetitif sampai hari ini, memang seolah menutup keberhasilan petenis-petenis Rusia di kelompok putra yang juga mempunyai atlet peraih Grand Slam. Mereka adalah Yevgeny Kafelnikov dan Marat Safin yang masing-masing meraih dua gelar Grand Slam. Namun, memang harus diakui, setelah generasi Safin, tenis putra Rusia mengalami kemunduran dan hanya menjadi kelompok ”kelas dua” elite dunia tanpa gelar Grand Slam sejak Safin merebut gelar di Melbourne pada 2005.
Dominasi yang luar biasa dari kelompok Big Four pada dua dekade terakhir menjadi salah satu faktor tenggelamnya petenis-petenis putra Rusia. Duet sahabat Roger Federer (Swiss) dan Rafael Nadal (Spanyol) bahkan seolah-olah membuat empat ajang Grand Slam menjadi ”milik” mereka dengan masing-masing merebut 19 dan 16 gelar. Belum lagi petenis Serbia, Novak Djokovic, yang menyelinap di antara prestasi gemilang Federer-Nadal dengan koleksi 12 gelar Grand Slam.
Dengan lebih 3.000 turnamen digelar sepanjang tahun, talenta hebat seperti Rublev, Khachanov, dan Medvedev akan terus bermunculan.
Saat ini Big Four yang terdiri dari Federer, Nadal, Djokovic, dan Murray masih menjadi favorit di kelompok elite dunia meski dua petenis terakhir mengalami cedera sejak pertengahan musim dan turun peringkatnya. Cederanya Djokovic dan Murray menjadi momentum bagi sejumlah petenis muda masuk ke jajaran elite.
Mereka di antaranya adalah Alexander Zverev (Jerman) dan Dominic Thiem (Austria). Zverev yang berdarah Rusia, bahkan menembus kelompok empat besar dengan menempati peringkat ATP 4.
Zverev seharusnya berada di Milan sejak Selasa ini untuk ambil bagian dalam Final ATP Next Gen, kejuaraan akhir tahun khusus bagi petenis-petenis muda (di bawah 21 tahun) dengan peringkat teratas dalam satu musim kompetisi. Sebagai peringkat ke-4 dunia, Zverev adalah unggulan utama di Milan. Namun, dia lebih memilih ikut Final ATP di London yang akan digelar 12-19 November.
Final ATP Next Gen sendiri adalah upaya Asosiasi Tenis Profesional (ATP) untuk melahirkan bintang-bintang muda penerus generasi Federer dan Nadal (Kompas, 6/11). ATP memantau perkembangan petenis-petenis muda sejak 2016. Daftar peringkat khusus pun dibuatkan untuk mereka dengan tajuk ”Menuju Milan”. Namun, turnamen di pengujung musim ini baru digelar pada 2017 ini dengan sejumlah peraturan khusus (lihat grafis).
Kebangkitan Rusia
Kalau saja Zverev tampil, di ajang Final ATP Next Gen di Milan akan ada lima petenis dengan nama Rusia. Namun, tanpa Zverev, masih ada empat nama berbau Rusia di Milan dan hal itu menjadi sinyal bangkitnya tenis putra Rusia setelah kelompok putri di awal 2000-an.
Dari delapan bintang muda yang masuk Final ATP Next Gen, kini terdapat tiga pemain Rusia, yakni Andre Rublev (peringkat ATP 34), Karen Khachanov (44), Daniil Medvedev (66), dan petenis Kanada berdarah Rusia, Denis Shapovalov (48).
Tanpa Zverev, ajang inaugurasi Final ATP Next Gen di Milan memang sedikit kehilangan gairah meski tetap menjanjikan laga-laga seru mengingat masih ada sejumlah petenis muda yang punya masa depan gemilang seperti Rublev dan Shapovalov.
Rublev, misalnya, pernah mengalahkan sejumlah nama besar, seperti Rafael Nadal, Juan Martin del Potro, atau Tomas Berdych. Petenis kelahiran Moskwa 20 tahun lalu itu juga memenangi turnamen ATP di Kroasia dan mencapai perempat final Grand Slam AS Terbuka 2017.
Rublev adalah satu dari sejumlah petenis muda Rusia yang melesat setelah negeri ”Beruang Merah” itu lebih populer lewat kemolekan dan prestasi bintang-bintang putrinya sejak masuk milenium ketiga awal 2000-an. Kini, terutama lewat Rublev dan Khachanov, Rusia berupaya mengembalikan kebesaran dunia tenis mereka yang punya sejarah sangat panjang.
Sejak zaman Tsar
Olahraga tenis di Rusia berkembang sejak akhir 1880-an ketika sejumlah klub lahir di Moskwa dan St Petersburg. Tenis sendiri merupakan satu dari sejumlah olahraga yang paling awal mempunyai perkumpulan atau federasi di Rusia, saat Tsar masih berkuasa, jauh sebelum Revolusi Bolshevik tahun 1917.
Sejarah mencatat, pada masa prarevolusi, tenis berkembang sangat pesat terutama di kota-kota besar Rusia, bahkan menjadi inspirasi bagi penulis besar mereka Leo Tolstoy saat mengarang karyanya yang fenomenal Anna Karenina.
Secara umum, olahraga memang menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari bangsa Rusia lama sebelum Revolusi Bolshevik. Hal tersebut dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yakni cuaca dan musim yang sangat tidak bersahabat, rasa tidak aman karena mereka berbatasan dengan lebih dari 20 negara. Tradisi olahraga Rusia juga dipengaruhi oleh para penduduk migran, terutama mereka yang berasal dari Inggris, Jerman, dan negara-negara Skandinavia, serta kebutuhan militer pada era Kerajaan Prusia.
Dipelopori oleh warga keturunan Inggris, Skotlandia, dan Jerman, sejumlah olahraga muncul sebagai gaya hidup baru kaum berpunya pada zamam Tsar, seperti berlayar, senam, memancing, ice skating, dan tenis.
Setelah Revolusi 1917, menurut Federasi Tenis Rusia, tenis Rusia mengalami kemunduran karena Partai Komunis yang berkuasa memberi stigma ”borjuis” pada olahraga ini. ”Lucu, sebab para petinggi partai malah main tenis,” ujar Boris Sobkin, pelatih Mikhail Youzhny (ATP 83).
Dunia tenis Rusia kembali cerah saat Boris Yeltzin memegang tampuk kekuasaan Moskwa pada 1991. Presiden berambut putih ini sungguh penggila tenis dan memberi dukungan sepenuhnya pada tenis. ”Sejak era Yeltzin, Rusia memenangi 12 gelar Grand Slam,” ujar Sobkin.
Era keterbukaan setelah bubarnya Uni Soviet pada akhir 1991 juga membuka kemudahan bagi bakat-bakat muda tenis Rusia melanglang buana mencari ilmu terutama di AS dan negara-negara Eropa.
Meski demikian, era keterbukaan setelah 1991 juga membuat sejumlah bakat hebat Rusia pergi menjadi warga negara lain seperti pada kasus Zverev.
Namun, sebagai negara besar, Rusia tidak pernah kekurangan talenta. Dengan lebih dari 3.000 turnamen digelar sepanjang tahun, talenta hebat seperti Rublev, Khachanov, dan Medvedev akan terus bermunculan.
”Rusia akan kembali merajai dunia tenis,” papar Youzhny saat memberi pelatihan di Akademi Tenis Rusia di Moskwa, baru-baru ini.