logo Kompas.id
OpiniSatu PintuKeamanan Pangan
Iklan

Satu PintuKeamanan Pangan

Oleh
Adhi S Lukman
· 4 menit baca
Iklan

Hari Pangan Sedunia usai diperingati 16 Oktober dengan tema tahun ini "Change the Future of Migration, Invest in Food Security and Rural Development". Di Indonesia, tema dunia disesuaikan menjadi "Menggerakkan Generasi Muda dalam Membangun Pertanian Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia". Namun, sebelum menjadi lumbung dunia, ketahanan pangan harus dipenuhi. Sesuai Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai perseorangan dengan tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya. Untuk mewujudkan ketahanan pangan, salah satu yang perlu dipenuhi adalah keamanan pangan. Tema keamanan pangan sebenarnya sudah menjadi tema utama Hari Pangan Sedunia 2015, "How Safe is Your Food? From Farm to Plate, Make Food Safe". Namun, kelihatannya belum ada perbaikan signifikan.Budaya keamanan pangan yang rendah memicu kerugian besar bagi negara, dari meningkatnya biaya kesehatan yang harus ditanggung negara hingga loss generation. Ada hipotesis bahwa meningkatnya biaya yang ditanggung BPJS Kesehatan salah satunya disebabkan buruknya kondisi keamanan pangan, meskipun ini perlu dikaji dan bukti empiris. Karena itu, dalam Rembuk Nasional III-2017, keamanan pangan jadi salah satu subtema rembuk. Dalam target pemenuhan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB, tahun 2030 juga sudah harus bebas kelaparan dan tersedia pangan yang cukup, bergizi, dan aman dikonsumsi. Kenyataannya, kondisi keamanan pangan Indonesia masih rawan, seperti dilaporkan The Economist, Global Food Security Index Indonesia tahun 2017 berada di peringkat ke-69 dari 113 negara, jauh di bawah negara ASEAN lain, seperti Singapura (4), Malaysia (41), Thailand (55), dan Vietnam (64). Bahkan, untuk mutu dan keamanan pangan berada di peringkat ke-86, di bawah Singapura (24), Malaysia (37), Thailand (59), Vietnam (66), Filipina (69), dan Myanmar (71). Salah satu laporan dari kajian penyakit diare akibat pangan tercemar, seperti dikutip BPOM, diperkirakan 10-22 juta kasus dengan kerugian Rp 64 triliun-Rp 226 triliun (On & Rahayu, 2017). Penggunaan bahan tambahan pangan nonpangan banyak ditemukan, seperti formalin, boraks, dan pewarna tekstil. Masih rawannya kondisi keamanan pangan tak tergambar dari laporan. Dalam Rembuk Daerah di Aceh, 16 Oktober 2017, laporan akibat pangan tak aman hanya 2.500 orang meninggal dan 411.500 orang sakit (2015). Bandingkan dengan laporan Center for Disease Control and Prevention AS (2015), satu dari enam orang sakit terkait pangan tidak aman, lebih dari 3.000 orang meninggal dan kerugian 78 miliar dollar AS per tahun. Bisa jadi ini disebabkan sistem pelaporan di Indonesia belum memadai atau masyarakat belum acuh terhadap kejadian salah makan. Satu pintu kebijakan Pengawasan keamanan pangan di Indonesia masih tersebar di sejumlah kementerian/lembaga, dan kebijakannya belum sinkron satu sama lain. Pangan olahan produksi industri menengah besar diawasi oleh BPOM, sedangkan pangan segar dengan proses sederhana di bawah Kementerian Pertanian. Semua produk yang mengandung hasil ikan dan laut di bawah pengawasan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Demikian pula hasil industri kecil rumah tangga diawasi oleh dinas kesehatan di bawah pemerintah daerah. Belum lagi pengawasan terhadap rumah makan, katering, dan sebagainya. Padahal, semuanya harus dijamin aman.Bisa dibayangkan bagaimana rumitnya apabila terjadi kasus keracunan pangan (foodborne diseases), siapa yang akan bertindak cepat? Belum lagi dengan kemajuan teknologi proses, kemasan, logistik, dan modernisasi ritel, akan semakin sulit membedakan pangan  olahan dan segar sehingga dalam beberapa kasus terjadi keterlambatan dalam antisipasi dan pengawasan. Beredarnya isu beras plastik menjadi salah satu contoh ketika beras yang sudah dikemas dalam kemasan eceran masuk ranah pangan olahan atau segar? Contoh lain, di ritel modern banyak beredar ikan atau daging beku kemasan eceran, siapa yang berwenang mengawasi dan memberikan izin edar? Di mana batas pangan segar dan olahan? Penetapan standar keamanan pangan juga berbeda di hilir dan hulu. Lembaga yang mengawasi di sisi hilir ingin menerapkan standar tinggi demi melindungi konsumen, tetapi di sisi hulu, standar keamanan pangan bahan baku belum diatur. Sudah saatnya kebijakan keamanan pangan dikelola "satu pintu" sehingga Indonesia punya satu kebijakan yang jelas. Misalnya penguatan BPOM, yang tentunya perlu UU BPOM, seperti di beberapa negara. Bisa juga membentuk lembaga yang diamanatkan UU No 18/2012 tentang Pangan, berupa Badan Pangan Nasional, yang sampai saat ini belum ada. Lembaga-lembaga itu membuat kebijakan keamanan pangan dan mengoordinasikan semua lembaga yang pengawasan pangan, termasuk membagi tugas pengawasan secara rinci. Juga berkoordinasi dengan pemda, apalagi sudah terbit Perpres No 83/2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi. Selanjutnya, mengkaji keamanan pangan (risk assessment) untuk semua kategori pangan. Kemudian, membuat standar keamanan pangan dan pengawasan dari hulu ke hilir. Lalu menyiapkan infrastruktur keamanan pangan, termasuk sistem pelaporan wajib, pusat informasi, serta sistem reaksi cepat. Setelah itu, monitoring dan evaluasi pelaksanaan. Terakhir, edukasi konsumen agar sadar keamanan pangan. Adhi S LukmanKetua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI); Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan (DKP) Indonesia

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000