Turunkan Suku Bunga
Berita harian Kompas (25/10/2017) menyebutkan bahwa pertumbuhan penyaluran kredit menjadi penopang laba bank, termasuk bank-bank badan usaha milik negara.
PT Bank Mandiri, misalnya, dilaporkan pada triwulan III-2017 mencatat untung Rp 15,07 triliun, melonjak 25,4 persen selama setahun. Dijelaskan pula bahwa kinerja sejumlah BUMN membaik karena faktor serupa. Memang ada penurunan margin bunga di sektor korporasi besar, tetapi itu karena suku bunganya lebih kecil.
Setahun yang lalu, pada Kompas (Kamis, 25/2/2016), saya mengimbau ”Turunkan Bunga Kredit”. Namun, hingga dewasa ini, penurunan bunga kredit belum juga terealisasi. Para direksi bank kelihatannya lebih fokus pada penurunan suku bunga kredit korporasi dan peningkatan laba.
Ada hubungan kausal yang bersifat zero sum game antara suku bunga kredit debitor dan pendapatan bunga bank. Semakin tinggi kontribusi margin bunga bank, semakin tinggi kemungkinan labanya. Artinya, peningkatan pendapatan bunga bank sebagian besar berasal dari pengurangan pendapatan dan kesejahteraan debitor.
Berita di atas sangat memprihatinkan, seakan-akan misi bank BUMN hanya untuk mendorong pertumbuhan bisnis korporasi dan meningkatkan laba bank. Padahal, kalau mau, bank BUMN bisa menjadi agen pembangunan dengan bekerja lebih efektif dan efisien sehingga suku bunga kredit dapat diturunkan hingga satu digit: 9 persen setahun.
Bank BUMN harus mendorong pertumbuhan ekonomi sektor riil pada umumnya, bukan hanya sektor korporasi dan meningkatkan laba bank. Dengan pertumbuhan sektor riil, bank BUMN dapat memperluas lapangan kerja.
Secara ekonomi dan sosial adalah lebih bijaksana dan bermanfaat jika suku bunga kredit sektor riil diturunkan, terutama untuk golongan ekonomi lemah dan menengah.
Hasiholan Siagian, Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Mana Tanah Kami?
Tahun 2000 telah terjadi kesepakatan antara 440 kepala keluarga kelompok tani Desa Parit dan Desa Sungai Gelam dan PT Bahari Gembira Ria. Ini adalah perusahaan kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi.
Kesepakatan hasil musyawarah itu disaksikan oleh berbagai instansi di Kabupaten Muaro Jambi, 2 September 2000. Isinya, PT Bahari Gembira Ria (BGR) harus melepaskan areal kepada Gubernur Jambi dan selanjutnya Gubernur Jambi akan mengatur penggunaannya bagi masyarakat Desa Parit dan Desa Sungai Gelam.
Dari tahun 2000 sampai 2017, musyawarah tersebut ditindaklanjuti dengan berbagai pertemuan yang intinya membantu masyarakat di kedua desa.
Di antara rapat-rapat itu, tanggal 29 Agustus 2000 telah tercapai kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi dan PT BGR berupa penyerahan lahan seluas lebih kurang 1.000 hektar untuk masyarakat kedua desa tersebut.
Ada juga rapat penyelesaian tuntutan 440 KK dan kelompok 133 KK Desa Parit dan Desa Sungai Gelam pada 23 Februari 2006. Intinya, masyarakat Desa Parit dan Desa Sungai Gelam akan menerima lahan dari PT BGR dan Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi.
Maret 2015 ada surat dari kelompok tani Desa Parit dan Desa Sungai Gelam ditujukan kepada Gubernur Jambi. Isinya, permohonan penyelesaian masalah antara kedua kelompok tani tersebut dan PT BGR.
Ada juga surat dari Gubernur Jambi melalui sekda provinsi tanggal 14 April 2015 kepada Bupati Muaro Jambi perihal permasalahan lahan masyarakat keluarga tani 440 KK.
Selain itu, ada surat-surat dari Yayasan Pelestarian Hutan Warna Cipta Lestari (WCL) Bogor sebagai pihak yang diminta oleh kelompok tani untuk membantu penyelesaian. Surat-surat ditujukan kepada Presiden, Mendagri, Gubernur Jambi, dan Bupati Muaro Jambi. Namun, sampai saat ini belum ada respons.
Oleh karena itu, kami memohon kepada pemerintah pusat untuk dapat membantu menyelesaikan hak-hak petani plasma kelompok 440 KK agar mereka mendapat penghasilan dalam menghidupi keluarganya.
Informasi terakhir, Bupati telah menyerahkan lahan tersebut kepada kelompok tani lain dan areal tersebut sekarang merupakan areal inti PT BGR.
Mengandalkan Gubernur dan Bupati saat ini tidak bisa diharapkan. Semua pertemuan itu tidak berarti, bahkan ingin bertemu dengan Gubernur dan Bupati saja sulit sekali. Sampai saat ini, kelompok tani 440 KK belum menerima 1 meter pun.
Hamdan Ruswandy, Ketua Yayasan WCL Pusat, Tanah Sareal, Bogor