Keberadaan pedagang kaki lima di tempat yang tak semestinya merupakan masalah laten bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sebab dari tahun ke tahun tidak ada solusi tuntas.
Pedagang kaki lima hidup dari penjualan barang eceran dengan mendekatkan diri kepada pembeli di tempat ramai, sementara pemerintah daerah dituntut menegakkan aturan penggunaan trotoar hanya untuk pejalan kaki. Solusi melalui relokasi tidak pernah berhasil karena hakikat eksistensi pedagang kaki lima tak pernah dipahami. Ekses terjadi bila yang dipakai adalah kekerasan yang tak manusiawi.
Saya ingin mengajukan saran. Daripada menggunakan kekuatan satpol PP mengusir pedagang kaki lima, biarlah pasangan gubernur-wakil gubernur baru menerapkan sis- tem pencegahan, misalnya, dengan mengadakan piket permanen. Tempat yang biasa digunakan para pedagang kaki lima tiap hari selama 24 jam diawasi dua anggota satpol PP secara bergantian. Tugas mereka: melarang setiap orang yang akan menggelar barang dagangan dan dimulai dari orang pertama—sekali lagi: orang pertama—tanpa toleransi sekecil apa pun. Dicegah di titik masuk orang biasa masuk menggelar dagangannya, diawasi jangan sampai mencari jalan tikus, dan dipatroli tiap jam. Timbang terima piket dilengkapi dengan catatan kejadian di buku laporan.
Mudah-mudahan cara ini menghindarkan kita dari kontroversi antara pihak yang merasa dirugikan dan pemerintah daerah yang wajib menata kawasannya.
H Nurhadi Purwosaputro, Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur
Pajak Sederhana dan Berkeadilan
Berita Kompas (3/11) halaman 1, ”Sistem Perpajakan Belum Ramah untuk Pengusaha”, tecermin dari penilaian Bank Dunia yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-114 dari 190 negara dalam laporan Kemudahan Usaha 2018. Indikator perpajakan Indonesia turun 10 peringkat dari posisi tahun lalu.
Pada Kompas (19/9/2016) saya telah mengingatkan ”Jangan Takuti Wajib Pajak”. Sebenarnya penurunan peringkat ini sudah dapat diduga dengan memperhatikan berbagai kejanggalan peraturan dan perlakuan perpajakan Indonesia. Perpajakan sela- ma ini kurang mempertimbangkan sistem sederhana, konsisten, dan adil.
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) adalah satu sistem perpajakan sederhana dan adil. Pada 2016, PTKP untuk penghasilan hingga Rp 54 juta per tahun. Penghasilan di atas jumlah itu baru kena tarif pajak berjenjang.
Jika sistem ini konsisten kita terapkan terhadap berbagai pihak wajib pajak, maka nilai Rp 5,4 miliar (Rp 54 juta/1 persen) dapat digunakan sebagai indikator penetapan nilai tidak kena pajak (NTKP). Angka 1 persen lazim dianggap prestasi suatu kegiatan bisnis.
Karena itu, nilai yang tak melebihi Rp 5,4 miliar dapat menjadi NTKP bagi tiga kategori berikut. Pertama, pengusaha golongan ekonomi lemah dan menengah dengan penjualan bruto yang tak melebihi Rp 5,4 miliar per tahun. Kedua, ahli waris yang menerima warisan aset yang tak melebihi Rp 5,4 miliar.
Warisan hanya timbul karena pewaris meninggal dunia, jadi tak patut dibebani pajak. Ketiga, bagi yang memiliki aset yang nilainya tak melebihi Rp 5,4 miliar. Mereka tak wajib membuat laporan amnesti pajak dan wajar dibebaskan nilai tebus.
Dengan penetapan tiga NTKP di atas, sistem perpajakan lebih mangkus-sangkil dan akan melegakan, terutama golongan ekonomi lemah dan menengah yang perlu dapat perlindungan wajar.
Hasiholan Siagian, Jatipadang, Pasarminggu, Jakarta Selatan
Dagang Kuliner di Meruya Ilir
Pada awal Maret 2017 saya bersama adik sepupu menyewa tempat berjualan di Jawara (Jajanan Warung Rakyat) Kuliner, Jalan Meruya Ilir 25, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dengan nama warung Kedai Tabo dan perjanjian: (1) deposit di awal Rp 3 juta (dikembalikan paling lambat tiga bulan setelah tidak sewa); (2) sewa tempat Rp 3,5 juta per bulan; (3) uang kebersihan dan keamanan Rp 300.000 per bulan. Total Rp 6,8 juta.
Sewa hanya berjalan tiga bulan (Maret-Mei) karena saya harus mengurus pernikahan. Saya ingin mengambil deposit Rp 3 juta, tetapi saya dipersulit oleh manajemen Jawara Kuliner, Bapak ASS dan A.
Mereka berjanji akan mengembalikannya, tetapi sampai saat ini tak terwujud. Whatsapp dan telepon saya tak ditanggapi.
Bagi manajemen Jawara, uang itu kecil, tetapi bagi saya sangat berarti karena didapat dengan keringat sendiri.
Topa Paian Andreas, Cengkareng, Jakarta Barat