Hari ini, 13 November 1998, sembilan belas tahun lalu, kawasan Semanggi menjadi saksi bisu penembakan mahasiswa oleh aparat militer.
Harian Kompas, keesokan harinya, 14 November 1998, menulis dengan judul besar, ”Tragedi di Akhir SI MPR— Lima Mahasiswa Tewas, 253 Luka-luka”. Seluruh halaman muka harian ini mengambil pesan yang sama, yakni menyesalkan terjadi kekerasan aparat yang mengakibatkan jatuhnya korban mahasiswa.
Kini, 19 tahun sudah berlalu. Sejarah bergerak seperti kilat. Suatu kejadian ditutup dengan kejadian lain, dan akhirnya manusia pun lupa. Berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu segera terkubur. Derap pembangunan begitu luar biasa. Kawasan Semanggi pun lebih gemerlap dengan jembatan barunya.
Indonesia belum berhasil menyelesaikan isu pelanggaran HAM masa lalu. Kasus HAM masih jadi beban sejarah bangsa. Berbeda dengan Afrika Selatan yang bisa menyelesaikan isu pelanggaran HAM masa lalu pada rezim apartheid lewat ketokohan Nelson Mandela dan Uskup Desmond Tutu yang memimpin Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan.
Misteri Tragedi Semanggi I belum terkuak kendati rezim berganti, pemerintahan demokratis terbentuk. Keluarga korban Semanggi bergabung dengan korban pelanggaran HAM Trisakti dan pelanggaran HAM lain meminta perhatian pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Hampir setiap Kamis—disebut Kamisan—keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia berkumpul di depan Istana untuk meminta perhatian pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, korban tetaplah korban, dan pelaku tetap bisa hidup nyaman.
Padahal, dokumen Nawacita yang diserahkan calon presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla saat Pemilu Presiden 2014 kepada Komisi Pemilihan Umum menyebut juga soal isu pelanggaran HAM masa lalu. Dalam halaman 27 butir ff tertulis, ”Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965.” Dalam butir gg lebih tegas lagi, ”Kami berkomitmen menghapus semua bentuk impunitas di dalam sistem hukum nasional, termasuk merevisi UU Pengadilan Militer yang pada masa lalu merupakan salah satu sumber pelanggaran HAM.”
Namun, lewat tiga tahun berkuasa, isu pelanggaran HAM masa lalu sepertinya masih terlalu sensitif disentuh sehingga akan tetap menjadi beban sosial bagi bangsa Indonesia.