Membengkaknya jumlah peng- anggur lulusan pendidikan kejuruan setahun terakhir tak serta-merta bersumber dari kesalahan kurikulum.
Berbagai faktor ikut memberikan kontribusi, baik internal maupun eksternal. Jalan keluar persoalan internal, pembenahan infrastruktur, menyangkut kurikulum, guru, sarana praktik, dan minat peserta didik. Untuk persoalan eksternal menyasar keterlibatan dunia kerja terhadap lembaga pendidikan kejuruan (SMK dan politeknik) serta penghargaan terhadap profesional.
Pembenahan perlu dilakukan serentak di bawah panduan UU Sistem Pendidikan Nasional dan Instruksi Presiden No 9/2016 tentang Revitalisasi SMK. Dari 7,04 juta penganggur (BPS, Agustus 2017) atau 5,5 persen total penganggur, sekitar 11,4 persen berpendidikan SMK, menunjukkan praksis pendidikan kejuruan yang salah arah.
Bukan sekali ini keluhan disampaikan mengenai praksis pendidikan kejuruan. Bukan juga tak pernah disampaikan usulan pembenahan, termasuk pengadaan sarana praktik dan pemanfaatan tenaga praktisi (karyawan) sebagai pengajar. Bahkan, kesenjangan jumlah lulusan SMK bidang tertentu dengan kebutuhan juga sudah disampaikan.
Tahun lalu, bidang kelautan butuh tenaga lulusan SMK 3.364.297 orang, yang tersedia 52.219 orang. Bidang pariwisata butuh 707.600 orang, lulusan SMK pariwisata 82.171 orang. Adapun bidang bisnis dan manajemen hanya butuh 119.255 orang, dengan lulusan 348.954 orang.
Persoalan terletak pada kesenjangan antara faktor eksternal dan internal. Link andmatch, prinsip pokok pendidikan kejuruan tersambung dan sesuai kebutuhan dunia kerja, macet. Ditambah kebijakan yang kurang berpihak pada pendidikan kejuruan, nasib SMK makin terseok. Pendidikan politeknik (D-1 hingga D-3) memperoleh imbas negatif dari kondisi dan kebijakan selama ini.
Pengakuan kondisi pendidikan kejuruan, khususnya SMK, yang jauh dari harapan tidak mencukupi. Instruksi presiden perlu ditindaklanjuti dengan langkah konkret dan strategis. BPS, Kemdikbud, serta Kemristek dan Dikti bersama dunia industri perlu duduk bersama. Perbaikan tidak cukup hanya teknis, tetapi mengenali bersama kondisinya, lantas mencari jalan keluar.
Jalan keluar itu bukan rumusan akademik yang baik di atas kertas tetapi sulit dilakukan, melainkan kerangka kerja sebagai acuan bersama. Selain perbaikan infrastruktur, berbagai terobosan perlu dilakukan, seperti karyawan aktif menjadi tenaga pengajar dan wujud nyata tanggung jawab dunia kerja berupa kesediaan pemagangan.
Perlu realisasi opsi dasar revitalisasi SMK yang didukung berbagai kebijakan kontributif, seperti persentase penganggaran biaya, kewajiban dunia kerja ikut bertanggung jawab, dan penggolongan/penggajian lebih besar bagi karyawan lulusan SMK yang profesional di bidangnya dibandingkan lulusan pendidikan umum.