Bapak Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, saya membaca pernyataan Wapres Jusuf Kalla di media massa daring bahwa tidak ada rencana pemerintah memutuskan hubungan kerja atau memensiunkan dini pegawai negeri sipil (PNS). Akan tetapi, kami PNS peneliti madya merasa ”dipaksa pensiun” dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 (PP 11/2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil).
Dapat saya sampaikan bahwa pada PP No 11/2017 itu, khususnya Pasal 354, sangat diskriminatif bagi peneliti madya yang dipaksa pensiun tiba-tiba hanya karena ”perbedaan usia” sebelum dan sesudah tanggal diundangkannya PP No 11/2017 pada 7 April 2017.
Dampak Pasal 354 berdampak bagi kami, peneliti madya yang lahir pada 8 April 1957 dan sesudahnya (usia di bawah 60 tahun) karena ditetapkan pensiun dengan batas usia pensiun (BUP) 60 tahun. Sementara yang lahir sebelum 7 April 1957 (6 April 1957 atau usia lebih dari 60 tahun) tidak dipensiunkan, diberi keistimewaan BUP 65 tahun. Kami tidak bisa mengerti apa dasar dan landasan Pasal 354 yang sangat tidak adil tersebut.
Bapak Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang saya hormati, kami sebagai PNS kebetulan sedang menduduki jabatan fungsional peneliti madya (ada 556 orang yang tersebar pada 30 lembaga/kementerian yang harus pensiun akibat PP tersebut dalam kurun waktu 3 tahun ke depan) merasa didiskriminasi.
Mengapa PP No 11/2017 diberlakukan kepada kami yang sudah menduduki jabatan fungsional peneliti madya. Bukankah biasanya peraturan diberlakukan bagi yang belum atau akan mengajukan jabatan fungsional tertentu?
Oleh karena itu, kami mohon kebijakan Bapak Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk meninjau kembali peraturan di atas dan mempertimbangkan merevisi Pasal 354 sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2014 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
Kuncoro Budy Prayitno, Peneliti Madya, BPPT
Stop Salah Kaprah Berbahasa
Cukup ramai dibahas masalah pembayaran tol (bea, biaya) untuk pemakaian jalan berbayar. Terlepas dari pro-kontranya, saya melihat istilah yang digunakan pada sarana jalan berbayar tersebut. Pada pintu masuk dapat kita jumpai kata GTO, dan kata nontunai.
GTO, kalau tak salah, merupakan singkatan dari gerbang tol otomatis. Kesan saya, kalau otomatis berarti palang akan secara otomatis terbuka sendiri pada waktu pengguna melewatinya. Kenyataannya para pengguna harus aktif melakukan langkah tertentu dan memiliki sarana khusus untuk membuka palang. Sarana yang diperlukan adalah kartu e-money alias uang elektronik. Inti dari GTO sebenarnya merupakan alih daya dari dilayani oleh petugas yang duduk di loket menjadi harus dilayani oleh diri kita sendiri.
Kata ”tunai” berpadan dengan kata ”kontan”. Artinya dibayar dengan ”langsung lunas”, tidak dengan dicicil atau berutang. Dengan demikian kata nontunai punya arti sebaliknya dari kata tunai. Padahal, dalam kenyataannya para pengguna jalan berbayar bahkan harus membayar terlebih dahulu dengan membeli uang elektronik.
Dengan demikian istilah ”GTO” dan ”nontunai” barangkali perlu direvisi dengan menggantinya menjadi kartu prabayar dalam bentuk uang elektronik.
Beda lagi yang kita jumpai di mal atau fasilitas umum lainnya. Tidak jarang terpampang tulisan, ”Buanglah sampah di tempatnya”. Sudah tentu maksudnya untuk mengimbau agar masyarakat atau pengunjung tidak membuang sampah secara sembarangan.
Namun, akhiran ”lah” merupakan penguat kata atau bermakna ”perintah”. Dengan demikian, kata ”buanglah sampah” punya konotasi perintah. Berbeda apabila kalimat berbunyi, ”Buang sampah, lakukanlah pada tempatnya”.
Menggunakan hal-hal secara salah menjadi sesuatu yang biasa sehingga tidak terasa lagi bahwa itu sebenarnya keliru disebut salah kaprah. Untuk memelihara kualitas bahasa yang baik, menurut hemat saya, perlu kita sedapat mungkin menghilangkan hal-hal yang bersifat salah kaprah, lalu mengoreksinya, dan jangan menciptakan salah kaprah yang baru.
Suwarsono, Jalan H ZainiI No 89 B, RT 001 RW 007, Cipete Selatan, Cilandak, Jakarta Selatan