Keputusan Mahkamah Agung Kamboja untuk membubarkan partai oposisi akan membawa negeri ini pada pemerintahan otoriter.
Pembubaran partai oposisi, Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP), sudah diprediksi mengingat kesembilan hakim agung dan ketuanya adalah loyalis PM Hun Sen.
Keinginan Hun Sen untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya tak lain karena ia merasa terancam setelah CNRP nyaris mengalahkannya dalam pemilu 2013. Menjelang pemilu tahun depan, kekuatan oposisi ternyata semakin solid. Hal itu terlihat dari hasil pilkada Juni lalu ketika CNRP menempatkan kandidatnya di lebih dari sepertiga jabatan pemerintah.
Hun Sen yang sudah berkuasa 32 tahun kemudian membabat habis suara oposisi. Ketua CNRP Kem Sokha dipenjarakan dengan tuduhan absurd. Ia dituduh merencanakan penggulingan pemerintahan yang sah bersama Amerika Serikat. Hun Sen juga membungkam surat kabar dan organisasi-organisasi kemasyarakatan independen, termasuk menangkapi anggota parlemen dan para aktivis.
Pembubaran satu-satunya partai oposisi ini merupakan langkah yang mengkhawatirkan karena akan menjadikan kekuasaan Hun Sen absolut. Bukan hanya kebebasan rakyat yang terancam, melainkan juga cita-cita untuk menjadikan Kamboja sebagai negara yang demokratis setelah era kelam perang saudara pada tahun 1970-an.
Sepatutnya persoalan ini juga menjadi keprihatinan ASEAN, blok yang menaungi 10 negara di Asia Tenggara. Prinsip non-interference (saling tidak mencampuri) yang dipegang teguh ASEAN tidak berarti negara-negara itu bisa mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi universal.
Selama ini, ASEAN dipuji karena mampu menjaga stabilitas kawasan, tetapi apalah artinya jika kualitas demokrasi yang dihadapi rakyat negara anggotanya mengalami kemerosotan. Seperti yang terjadi di Myanmar, misalnya, krisis pengungsi Rohingya telah menjadi salah satu krisis kemanusiaan terburuk saat ini. Namun, sungguh mengecewakan ketika semua pemimpin ASEAN sepakat untuk tidak menyebut kata Rohingya, tetapi "orang-orang terdampak".
Apa yang terjadi di Kamboja memang tak langsung berdampak terhadap kawasan. Namun, belajar dari kasus Myanmar, akankah kita tetap berdiam diri ketika tetangga semakin jauh terperosok sampai akhirnya situasinya tak bisa terkontrol lagi?
Begitu juga dengan Kamboja yang pernah mengalami era kelam perang saudara saat Khmer Merah pimpinan Pol Pot merebut kekuasaan tahun 1975. Kekejaman luar biasa pemerintahan Pol Pot telah menewaskan 2 juta-3 juta warga Kamboja hanya dalam waktu empat tahun. Jangan sampai sejarah kelam itu terulang kembali.