Sejak 2003, barulah pada era Presiden Joko Widodo ini peringkat kemudahan berusaha naik hingga ke-72. Demikian yang tertuang dalam laporan Bank Dunia dalam Doing Business 2018, yang baru diterbitkan bulan ini.
Posisi Indonesia ini melompati 19 jenjang dari posisi ke-91 dalam Doing Business (DB) 2017. Sekadar catatan, DB dikeluarkan sekitar dua bulan mendahului laporan tahun bersangkutan.
Dari 2003 (sewaktu DB pertama kali diterbitkan) hingga 2016, peringkat RI senantiasa berada di atas 100. Padahal, negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand selalu di bawah 50, dan Singapura di nomor 1. Yang menarik, pada waktu itu praktis tak pernah terdengar kegelisahan di kalangan petinggi pemerintahan perihal situasi ini. Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah terlontar keinginan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa agar peringkat tersebut bisa di bawah 100.
Ketika tahun lalu RI berada di posisi ke-91, naik dari 109 pada tahun sebelumnya (DB 2016), Jokowi masih menyatakan keinginannya agar RI bisa mencapai tangga ke- 40. Kendati tangga itu belum tercapai, angka 72 sekarang sudah merupakan lompatan luar biasa. Semua orang tahu upaya yang telah dan sedang dilakukan presidennya dalam melancarkan dunia bisnis. Badan keuangan dunia itu pun sebetulnya hanya mengakui dan mengesahkan pengetahuan umum tersebut. Jadi, tidak masalah meski Malaysia dan Thailand masih tetap di atas RI, masing-masing di peringkat ke-24 dan ke-26.
Terima kasih advokat
Kemudahan berusaha ditetapkan berdasarkan penilaian atas 10 area atau bidang, yakni pembukaan usaha, perizinan jasa konstruksi, penyambungan listrik, akses kredit, perlindungan investor minoritas, pendaftaran properti, pembayaran pajak, perdagangan lintas negara, pelaksanaan kontrak oleh badan peradilan, dan penyelesaian proses kepailitan. Tiap-tiap area atau bidang diberi bobot sendiri sehingga pada akhirnya melahirkan peringkat keseluruhan.
Dari 10 bidang yang berperingkat jelek, yang berada di atas 100, pelaksanaan kontrak patut dibahas. Pelaksanaan kontrak ini masih berada di peringkat ke-145, yang sebetulnya patut disyukuri juga karena sudah lebih baik daripada tahun sebelumnya yang ada di peringkat ke-166.
Terdapat tiga unsur dalam bidang pelaksanaan kontrak, yaitu jangka waktu, biaya, dan kualitas putusan. Untuk jangka waktu, RI tak jauh berbeda dari Malaysia dan Thailand dengan catatan Bank Dunia tak mendefinisikan arti jangka waktu itu: apakah hanya sampai putusan tingkat pertama atau sudah pada tingkat final dan mengikat.
Terkait kualitas, putusan badan peradilan di Malaysia lebih baik, yakni angka 12 dari skala 0-18. Yang mencolok adalah unsur biaya, sebab untuk 2018, biaya mencapai 70,3 persen dari total klaim, di Malaysia cuma 37,3 persen dan Thailand 16,9 persen. Namun, kita senang juga lantaran persentase 70,3 persen ini masih lebih baik daripada tahun sebelumnya, yaitu 115,7 persen. Kalau diurai lagi, biaya ini terdiri atas biaya pelaksanaan putusan (11 persen), biaya badan peradilan (13 persen), dan biaya advokat (50 persen). Biaya advokat ini lebih rendah daripada tahun lalu yang mencapai 90 persen dari jumlah klaim. Tentu, terima kasih kepada advokat Indonesia.
APS/ADR
Kualitas putusan yudisial ini terdiri atas unsur-unsur proses dan struktur badan peradilan (3 dalam skala 1-5), manajemen kasus (2 dalam skala 0-6), serta otomasi (0,5 dalam skala 0-4). Yang patut disyukuri, baiknya kinerja alternatif penyelesaian sengketa/APS (alternative dispute resolution/ADR) yang mendapat nilai 2,5 (dari skala 0-3) satu hal yang nyata dilakukan para pencari keadilan dewasa ini.
Untuk penyempurnaan bidang pelaksanaan kontrak, Bank Dunia mencatatkan beberapa hal. Misalnya, perlunya mengembangkan sistem manajemen elektronik, memperluas jaringan pengadilan khusus, serta mengembangkan penggunaan APS/ADR.
Layak diketahui, untuk DB 2018, Bank Dunia menghimpun laporan dari 43.000 profesional, umumnya hukum, seperti advokat, jaksa, hakim, dan dosen yang tersebar di 190 negara. Dengan penerbitan DB, badan dunia ini sekaligus ingin menguji kualitas struktur hukum dan kekuatan institusi hukum di mancanegara.
Bagi kita, DB mudah-mudahan akan bisa melecut gerakan reformasi hukum yang berusaha mendekatkan diri ke pembangunan ekonomi. Misalnya, di bidang korporasi saat ini sedang dikaji penggunaan sistem e-voting untuk rapat umum pemegang saham (RUPS) PT Tbk. Misalnya lagi, saat ini bidang hak kekayaan intelektual (HKI) sedang menyusun satu strategi nasional pengembangan dan komersialisasi konsep HKI, yang diperlukan semua pihak, termasuk investor, asing maupun nasional.
Sebaliknya, ada yang masih mengganjal. Salah satunya adalah kewajiban ditulisnya kontrak privat dalam bahasa Indonesia, yang tiada hubungannya dengan nasionalisme bahasa.
A Zen Umar Purba, Dosen Program Pascasarjana FHUI dan Arbiter Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)