logo Kompas.id
OpiniPembelotan Prajurit Korut
Iklan

Pembelotan Prajurit Korut

Oleh
· 2 menit baca

Pembelotan oleh seorang prajurit Korea Utara pada Senin pekan lalu sungguh dramatis. Potongan rekaman video yang beredar membuat kita trenyuh.Potongan rekaman video itu menunjukkan betapa besar risiko yang harus dihadapi si prajurit untuk bisa masuk ke wilayah Korea Selatan yang demokratis dan makmur. Ia meninggalkan Korea Utara yang otoritarian dan didera sanksi ekonomi. Lebih penting lagi, insiden pembelotan itu mengingatkan kita kembali betapa Korea adalah sebuah tragedi. Penjajahan dan pertumpahan darah akibat perang mendominasi sejarah modern wilayah ini. Tahun 1910 hingga 1945, Korea berada di bawah Kekaisaran Jepang. Berakhirnya kekuasaan Jepang di Korea terjadi ketika Tokyo menyerah tanpa syarat pada Agustus 1945, yang sekaligus menandai usainya Perang Dunia II.Berakhirnya Perang Dunia II tidak membuat situasi di Korea menjadi lebih baik. Sebaliknya, Korea menjadi terbelah: sisi utara berada di bawah kendali Uni Soviet. Sisi selatan dikendalikan kubu Amerika Serikat. Dua bagian ini dipisahkan garis 38 derajat Lintang Utara. Nestapa Korea kian dalam saat Minggu pagi, 25 Juni 1950, tentara dari utara menginvasi wilayah di sebelah selatan garis pembatas itu. Tak memiliki kekuatan militer, Korsel tak mampu menghadapi serbuan itu. AS dan sejumlah negara Sekutu membantu Korsel. Perang yang berkecamuk selama tiga tahun ini menyebabkan sekitar 1,2 juta orang tewas.Secara formal, kedua pihak masih berada dalam situasi perang karena tidak ada traktat perdamaian di antara mereka. Hanya kesepakatan gencatan senjata yang membuat keduanya berhenti menembakkan peluru.Perbatasan Korsel-Korut kini bukan sekadar perbatasan. Secara simbolis, perbatasan itu memisahkan wilayah kebebasan dan kemakmuran dengan wilayah otoritarian dan kemiskinan. Setelah sekian puluh tahun terpisah, ada jurang menganga di antara Korsel dan Korut. Berbagai laporan menyebutkan, rakyat Korut hidup dalam kemiskinan, terutama di pelosok perdesaan. Di tengah retorika pemimpin Korut dan langkah Pyongyang melakukan uji coba senjata nuklir dan rudal balistik, rakyat negara itu kekurangan pangan. Situasi diperkirakan memburuk akibat sanksi ekonomi yang diterapkan atas negara itu. Ekspor batubara anjlok drastis. Rusia dan China mengurangi penjualan bahan bakar minyak ke Korut. Belum lagi pemasukan negara dari upah pekerja Korut di luar negeri yang juga berkurang. Tak mengherankan, setiap tahun, rata-rata 1.000 orang berusaha membelot dari Korut ke Korsel. Kebanyakan lewat China. Keinginannya sederhana: hidup bebas, punya pekerjaan yang baik, dan menikmati kesejahteraan hasil jerih payahnya sendiri.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000