Belajar sampai ke Madagaskar
Kadang-kadang amatlah menarik mengunjungi negeri dan kota yang "tak pernah" dibicarakan. Negeri dongeng tanpa legenda.
Kadang-kadang amatlah menarik mengunjungi negeri dan kota yang ”tak pernah” dibicarakan. Negeri dongeng tanpa legenda. Ya! Mengapa ruang pikir dan ruang gerak kita seolah-olah harus terbatas pada Paris, Los Angeles, atau tempat ikonik entah yang mana lagi! Apakah ”tidak boleh” mendengar atau bermimpi tentang Valparaiso dan Bobo-Dioulasso. Apakah ”tidak boleh” mengunjungi Antananarivo?
Namun, justru itulah yang kami lakukan, aku, istriku, dan sepasang teman Bali baru-baru ini. Mengunjungi Antananarivo dan kedua belas bukit sucinya! Bisa jadi Anda tidak pernah mendengar tentang kota itu, apalagi tentang bukitnya, tetapi bunyi namanya rada familiar. Dan, bukan tanpa alasan: Antananarivo adalah ibu kota Madagaskar, negara-pulau di tenggara Afrika berpenduduk 25 juta orang yang sebagian besar berpenampilan rada Melayu-corak Flores. Jadi, ada bau dan suara Indonesia. Saya tidak bisa menghilang bersembunyi di tengah kerumunannya karena bermoncong kaum penjajah, tetapi istri saya, sebaliknya, bisa nampang karena dianggap putri ningrat lokal.
Namun, jangan salah duga. Pada pandangan pertama, ketika berjalan-jalan di Antananarivo, kami berpikir bahwa Indonesia sudah memberikan perhatian khusus kepada ”saudara” sesama ”Melayu” itu. Di mana-mana terpampang papan iklan bank BNI. Pikir kami: ”hebat”, kepakaran mikrokredit Indonesia telah berhasil merebak sampai ke negeri beriklim enak itu. Saya dapat menangkap sinar kebanggaan di mata istri saya: Indonesia pun mampu ”go global” bukan perusahaan negara-lu! saja. ”Tetapi ternyata kami salah duga: BNI bukanlah akronim Bank Nasional Indonesia, melainkan Banque Nationale Industrielle bertulisan Perancis itu. Celaka. Meskipun demikian, jika Indonesia tidak menguasai dunia perbankan Madagaskar, ia menguasai ”mulut” penduduknya: di pinggir jalan kerap ditemukan iklan: Sedaap, supermie Indonesia, hingga kata sedap itu agaknya kini sudah masuk bahasa setempat, bahasa Malagasy.
Soal bahasa, ditemukan aneka persamaan yang amat menarik: jalan menjadi lalana, yang mengingatkan kita kepada sang lelana dari tradisi Jawa; kepala adalah ulu, hati adalah ati, dan sebagainya. Kata-kata itu semua merupakan tanda nyata dari kaitan linguistik bersejarah panjang antara Madagaskar dan dunia Melayu, khususnya Indonesia. Semua suku asli Madagaskar memakai varian dari bahasa Malagasy yang berakar Melayu itu. Tidak ada yang memakai bahasa Bantu dari Afrika, di luar kata pinjaman tertentu, meskipun pantai Afrika hanya 400 kilometer jauhnya dibandingkan dengan 5.000 km antara Madagaskar dan Indonesia. Konon penelitian linguistik menunjukkan persamaan paling dekat dengan suku Dayak Ma’anyan, sedangkan penelitian genetik menemukan persamaan paling dekat dengan suku Banjar. Agaknya yang berlayar ke situ adalah awak kapal Banjar zaman Sriwijaya.
Oleh karena kaitan historis ini, orang Madagaskar ingin memperluas hubungan dengan saudara Melayunya, tetapi Indonesia setengah hati: bahasa Indonesia diajarkan di KBRI Antananarivo; bahkan ada beasiswa yang diberikan kepada peminatnya; tetapi jika undangan dikirim kepada pihak Indonesia untuk menghadiri simposium tentang ”Histoire Culturelle” (sejarah peradaban) Madagaskar dan kaitannya dengan Asia Tenggara, tidak ada balasan. Pada simposium bertanggal (28/11) dan (29/11) yang lalu, yang terlihat hadir adalah orang Vietnam, Perancis, Australia, tetapi dari Indonesia: kosong melompong! Kecuali, atas nama pribadinya, Anak Agung Rai sebagai wakil Museum ARMA dari Bali itu.
Simposium tersebut bukan tanpa informasi yang amat menarik. PY Manguin (EFEO) mengatakan bahwa kini sudah ada bukti bahwa orang Nusantara yang pertama, sekitar 2.000 tahun yang lalu, menemukan teknik-teknik pembuatan kapal samudra besar dan kemudian mengajarkannya kepada China, bukan sebaliknya. Dia juga mengatakan, kapal besar Nusantara yang karam di Maldivas itu sudah ditemukan. Namun, belum diketahui apakah pelaut Nusantara pernah bermukim di pesisir Afrika, tempat mereka bercampur dengan penduduk lokal, atau langsung hijrah ke Madagaskar.
Lebih jauh lagi, jika kita mengunjungi Madagaskar dari Indonesia, kita segera menyadari bahwa karena kekayaan alam, posisi strategisnya, dan aneka faktor lainnya, Indonesia kini telah mencapai tingkat pembangunan yang jauh lebih mapan ketimbang Madagaskar: terlihat dalam hal-hal kedokteran, produk konsumsi menengah, jasa-jasa teknis menengah, dan lain-lain. Mengapa kesempatan berbisnis yang agak luas itu, dengan pasar konsumen yang cukup besar, tidak menarik pengusaha Indonesia? Mengapa dibiarkan dirambah oleh pengusaha India dan China saja? Bukankah persamaan bahasa dan penampilan semestinya mempermudah hubungan antarpribadi dan memuluskan iklim investasi?
Apalagi ada beberapa hal yang dapat dipelajari di negeri itu: kebersihan jalan yang bebas total dari plastik; serta kebiasaan untuk berjalan kaki. Maka, tak cukup belajar sampai ke negeri China, belajarlah sampai ke Madagaskar. Sambil melihat peluang investasi.