Mengapa Kita Kembali Berharap kepada Pesantren
Di tengah arus penguatan politik identitas, pesantren dinilai memiliki sesuatu yang patut dibanggakan.
Akhir-akhir ini banyak orang berharap kepada pesantren. Di tengah arus penguatan politik identitas yang dikhawatirkan akan menimbulkan krisis wawasan kebangsaan, pesantren—dan lebih luas lagi masyarakat pesantren—dinilai memiliki sesuatu yang patut dibanggakan.
Bertolak belakang dengan kesan tertutup yang pernah melekat padanya di masa lalu, pesantren sekarang justru dilihat sebagai model ”masyarakat terbuka” yang cocok dengan program penguatan ideologi Pancasila di era pemerintahan Joko Widodo.
Penilaian tersebut tentu saja membuat kalangan pesantren berbesar hati. Namun, mengapa baru sekarang? Dalam sejarah rasanya tidak pernah mereka punya kebanggaan diri sebesar saat ini. Pada masa Orde Baru, misalnya, ketika Pancasila diindoktrinasikan sedemikian rupa oleh negara, pesantren hampir tak pernah dilirik mata. Baru kali ini pesantren dipandang sebagai contoh lembaga yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila secara nyata.
Bagi sebagian orang, harapan terhadap pesantren adalah wajar jika mengingat nilai-nilai yang diyakini dan diajarkannya selama ini. Kemampuan pesantren dan masyarakat pendukungnya dalam merespons perkembangan zaman sangat terkait dengan khazanah intelektual yang mereka miliki. Oleh karena itu, kalau sekarang pesantren mempunyai wawasan kebangsaan yang selaras dengan Pancasila, hal itu adalah niscaya.
Kemodernan dan ketradisionalan
Pesantren yang dimaksud di sini adalah pesantren tradisional. Berbeda dengan kesan umum yang berkembang di kalangan awam, tradisi atau ketradisionalan memberikan orientasi yang sangat berharga bagi pesantren dalam merespons perkembangan zaman. Menguatnya politik identitas, yang dicirikan oleh kembalinya agama ke ruang publik, direspons oleh pesantren tradisional secara elegan. Hubungan antara pesantren, Pancasila, dan wawasan kebangsaan lahir dari konstelasi ini. Untuk memahaminya, kita perlu menengok apa yang terjadi dengan interlokutornya, modern atau kemodernan. Alih-alih dikotomis, keduanya saling terhubung secara dialektis.
Jika dulu kemodernan identik dengan kemajuan, kini ia lebih dekat dengan ambivalensi. Karena kita sedang berbicara tentang pesantren, mari ambil contoh pesantren modern. Sekarang rasanya cukup sahih mempertanyakan apa yang modern dari pesantren modern? Pertanyaan ini bukan sekadar retorika, melainkan timbul dari keheranan melihat kenyataan banyaknya pesantren modern yang dalam hal pemikiran tidak menampakkan ide-ide kemajuan. Mereka punya bangunan asrama yang modern, tetapi cara pandang keagamaannya sangat Abad Pertengahan.
Pertanyaan yang sama bisa diajukan ke lembaga pendidikan modern lainnya, yaitu sekolah dan universitas. Meskipun lembaganya lahir dari alam pikir kemodernan, belakangan ini kita gampang menemukan lulusan sekolah dan universitas yang tidak berpikiran modern sama sekali. Bukan hanya lulusannya, bahkan guru-guru dan dosen-dosennya. Tidak sedikit dari mereka yang ingin kembali ke bentuk-bentuk kehidupan Abad Pertengahan ketika teokrasi dianggap lebih baik daripada demokrasi. Mereka bermimpi masa lalu lebih indah daripada masa kini.
Puncak dari ambivalensi kemodernan mengemuka secara telanjang di era digital dalam bentuk runtuhnya otoritas keahlian. Seorang yang menulis lafaz Al Quran saja masih salah lebih didengarkan pandangannya mengenai Al Quran daripada seorang profesor tafsir Al Quran yang telah menulis puluhan buku tentang Al Quran. Ini terjadi di semua bidang ilmu. Ironisnya, runtuhnya otoritas keahlian ini terjadi bukan di masyarakat tradisional, melainkan di kalangan terpelajar yang sejatinya sangat terpapar kemodernan.
Melihat contoh-contoh yang agak karikatural di atas, suatu pertanyaan muncul: apa yang sesungguhnya terjadi dengan kemodernan kita? Apakah ia sedang mengalami ”krisis epistemologis” seperti dikatakan Alasdair MacIntyre (1977) ketika menerangkan situasi peralihan dari apa yang seolah-olah (seems) ke apa yang sesungguhnya terjadi (is) di zaman ini?
Saat ini, pertanyaan-pertanyaan tentang kemodernan tersebut seakan menemukan basis empirisnya. Berbagai survei membuktikan bahwa tak sedikit kalangan yang dianggap modern—para PNS dan kaum profesional umumnya—ternyata diam-diam atau terang-terangan mendukung pemberlakuan syariah. Meski perlu penelaahan lebih dalam mengenai apa yang dimaksud sebagai syariah tersebut, cukup jelas terlihat mereka tidak puas dengan kondisi yang ada saat ini. Ketidakpuasan mereka berwarna ideologis, menyangkut sistem politik kenegaraan, bukan sekadar ketidakpuasan praktis mengenai harga cabai yang naik di pasaran. Memang pada awalnya tidak ada yang salah dengan aspirasi tersebut, tetapi secara sosiologis-antropologis hal itu menunjukkan sesuatu.
Ambivalensi kemodernan juga melanda gerakan Islam modernis. Menghadapi situasi kebangsaan yang ditantang arus konservatif sekarang ini, posisi mereka patut dipertanyakan. Pertanyaan Mitsuo Nakamura (2012) dalam buku barunya mengenai Muhammadiyah di Kotagede sangat relevan. Dia bertanya mengapa kalangan Muhammadiyah tampak diam saja menyaksikan pergeseran orientasi paham keagamaan dalam tubuh organisasi mereka? Berbeda dengan Nahdlatul Ulama yang sibuk melawan konservatisme ala Wahabi, hanya sedikit pegiat Muhammadiyah yang peduli dengan itu.
Secara serampangan bisa dikatakan jangan-jangan rasionalitas yang dijanjikan oleh kemodernan hanyalah mimpi Immanuel Kant. Dalam kenyataannya, kemodernan yang didaku oleh banyak orang di sini terbatas pada penampakan luar. Ia membuat teknikalitas kehidupan semakin canggih dan manajemen organisasi semakin efisien, tetapi dalam dirinya terdapat lapisan yang bolong. Lapisan ini, yang pada tataran metafisika diatribusikan kepada akal budi, ternyata tak menempel pada tanah sejarah. Ia mengawang-awang di langit filosofis. Karena itu, ia mudah sekali terempas gelombang politis.
Dalam situasi krisis epistemologi kemodernan ini, tradisi muncul sebagai pusat orientasi baru yang menjanjikan. Jika mengikuti rumusan Alasdair MacIntyre, tradisi adalah sesuatu ”yang berkembang secara historis, mempunyai argumen yang terwujud secara sosial”. Tradisi dengan kriteria semacam ini menyediakan kepada para pengikutnya seperangkat keyakinan tentang dunia, beserta cara untuk mengatasi problemnya. Tradisi bagi MacIntyre adalah sebuah argumen rasional yang bekerja berdasarkan historisitas tertentu. Tanpa mengacu pada historisitas tertentu, rasionalitas mudah tergelincir pada relativisme dan perspektivisme.
Dengan demikian, tradisi yang kita maksudkan jelas berbeda dengan tradisi dalam bayangan postmodernisme yang nihilistis. Tradisi yang kita butuhkan sekarang harus tetap berada dalam horizon universalitas yang memuat kriteria obyektif tertentu. Selain itu, berlainan dengan kecenderungan postkolonialisme yang selalu melihat Barat dan Timur secara dikotomis, yang diperlukan oleh kita adalah tradisi yang tetap kritis pada dirinya sendiri.
Agama dan politik aliran
Kembali ke pokok bahasan, sekarang pesantren diharapkan signifikansinya dalam merawat wawasan kebangsaan karena lembaga-lembaga lain, yang berdiri di samping panji-panji kemodernan, memang sedang tidak bisa diharapkan. Lembaga-lembaga terakhir ini mengandung ambivalensi akut seperti panji-panji yang diusungnya. Namun, mengulang pertanyaan di awal, mengapa baru sekarang?
Pada masa Orde Baru, agama bukan sasaran pokok kegiatan Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Dengan latar belakang pengurus inti yang umumnya adalah para priayi sekuler, BP7 belum secara spesifik memerhatikan kompleksitas masalah agama dalam rumusan-rumusannya. Gagasan yang menjadi narasi utama pada saat itu adalah kolektivisme dan integralisme yang berakar pada filsafat romantisisme Eropa. Bourchier (2015) menjelaskan bagaimana gagasan ini ditransmisikan dari Jerman ke Belanda, diimpor ke Indonesia, kemudian bercampur dengan paham serupa dari Jepang di era pendudukan mereka yang sebentar.
Oleh karena itu, jika hari ini pesantren dinilai punya signifikansi dalam penguatan ideologi Pancasila dan pengembangan wawasan kebangsaan, maka itu tiada lain merupakan refleksi dari penguatan politik identitas di zaman kita. Dalam hal ini, agama menempati hierarki tertinggi dalam politik identitas itu sehingga siapa pun tidak bisa berbicara mengenai Pancasila dan kebangsaan tanpa mengaitkannya dengan agama. Karena agama pada dasarnya merupakan seperangkat gagasan dan nilai yang abstrak, ia membutuhkan pengejawantahan yang konkret. Di Indonesia, bentuk dari pengejawantahan itu adalah pesantren.
Akan tetapi, tidak semua pesantren bisa mengikuti alur argumen ini. Tidak sedikit pesantren yang larut dalam gejolak politik identitas tanpa sikap kritis. Tidak hanya pesantren modern seperti telah disinggung sedikit, tetapi juga terdapat pesantren tradisional yang kelihatan sekali sulit menerima Pancasila dalam pengertian hari ini. Bukan berarti mereka anti-Pancasila, melainkan cara menafsirkannya jauh dari wawasan kebangsaan yang terbuka.
Untuk mengerti apa yang sesungguhnya terjadi dengan dunia pesantren hari ini, kita tentu butuh riset yang serius. Akan tetapi, melalui pengamatan yang sederhana kita bisa melihat bahwa kedudukan pesantren dan tempatnya dalam peta sosial politik di dekade kedua abad ke-21 sekarang tidak jauh beranjak dengan gambaran mengenai situasi yang sama pada dekade 1950-an. Kembalinya agama ke ruang publik berarti kembalinya konsepsi ”politik aliran” dalam menjelaskan realitas sosial. Trikotomi priayi-santri-abangan seperti dieksplorasi oleh Clifford Geertz (1983) menemukan relevansinya kembali. Pasti ada perubahan di sana-sini, tetapi pola besar dan aliansi atau kontradiksi di antara ketiga aliran tersebut tetap bertahan dengan sedikit modifikasi.
Dengan mengarahkan kembali lensa pemahaman kepada gambaran dekade 1950-an, kita akan terbantu untuk melihat hubungan antara pesantren, Pancasila, dan wawasan kebangsaan di masa sekarang. Pada tataran analitis, kata kuncinya adalah genealogi. Pesantren yang secara genealogis terhubung dengan bayangan politik Darul Islam dan Masyumi umumnya cenderung skeptis, bahkan terkadang resisten, dengan penafsiran Pancasila yang terbuka (bdk Martin van Bruinessen, 2002). Mereka setuju dengan Pancasila, tetapi muatan ideologi Islamis dalam kesadaran historis mereka lebih mengarahkannya pada penafsiran Pancasila versi Piagam Jakarta.
Politik identitas di dunia pesantren tidak bisa dicegah, tetapi bisa dipilah. Oleh karena itu, selain pesantren tradisional, pertanyaan lanjutannya adalah pesantren tradisional yang mana? Meski tidak bisa digeneralisasi secara gampangan, saya melihat pesantren tradisional yang secara genealogis terhubung dengan tradisi Nahdlatul Ulama punya signifikansi yang lebih besar dalam memperkuat ideologi Pancasila dengan wawasan kebangsaan yang terbuka. Mungkin ini adalah harapan yang terlalu besar, tetapi mengapa tidak?
Amin Mudzakkir
Peneliti P2SDR-LIPI