Selamatkan Sungai Citarum
Dalam dua hari, harian ini mengangkat soal kerusakan Sungai Citarum dari hulu sampai hilir. Sungai itu seperti dibiarkan tak terurus.
Dalam laporan ekspedisi Kompas Citarum 2011 dituliskan, tidak ada sungai yang peran dan fungsinya begitu strategis seperti Citarum. Selain menerangi peradaban dari separuh penduduk Jawa dan Bali sebesar 1.888 megawatt, Citarum juga mengairi area pertanian dan perikanan, memasok air untuk industri, serta menyuplai bahan baku air minum sekitar 80 persen penduduk Jakarta.
Benar kata Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, seperti dikutip harian ini, ”Satu bangsa dikatakan beradab apabila sudah mengelola air dan sampah.” Air memang selalu menjadi sumber peradaban. Citarum sebenarnya bisa berkontribusi untuk peradaban, seperti Sungai Nil di Mesir yang menghasilkan ilmu soal bagaimana pengelolaan sungai.
Laporan Kompas, Senin, 25 April 2011, mengangkat judul ”Citarum Tercemar dari Hulu”. Keesokan harinya, Kompas menulis ”Pencemaran Merugikan Semua Pihak”. Adapun pada Kompas terbitan Kamis, 4 Januari 2018, harian ini menurunkan berita dengan judul ”Citarum Semakin Rusak”.
Kerusakan dan tercemarnya Citarum oleh limbah berbahaya adalah fakta sejak dulu. Limbah itu membahayakan kesehatan manusia meskipun dampaknya tidak seketika. Dampak limbah dan bakteri yang terdapat di Citarum, meskipun prosesnya berlangsung lambat, adalah bencana kemanusiaan yang harus ditanggulangi. Banjir yang setiap tahun menerpa Bandung adalah juga karena manajemen air Citarum dan anak sungainya yang tidak optimal.
Di sini perlunya sense of urgency dan skala prioritas untuk merevitalisasi Citarum. Karena itu, ketika ada gagasan Citarum Harum yang antara lain diinisiasi Panglima Kodam III/Siliwangi Mayor Jenderal Doni Monardo bersama Gubernur Jabar Ahmad Heryawan dan pemerintah pusat, inisiatif itu harus didukung semua pihak yang mendapat manfaat dari Citarum atau berkontribusi merusak Citarum.
Penanganan Citarum haruslah komprehensif, bukan parsial. Menyelesaikan masalah dari hulu hingga hilir, mengubah perilaku masyarakat dengan tetap memperhatikan ekonomi masyarakat. Pembenahan Citarum memakan waktu lama dan membutuhkan daya tahan. Menyelesaikan permasalahan bukan semata menggunakan pendekatan proyek, melainkan juga dengan pendekatan hati menyelamatkan Citarum dan manusia.
Kita membutuhkan peta jalan pembenahan Citarum dan adanya satu komando yang mengatur siapa menangani apa dan siapa bertanggung jawab untuk apa. Melihat kerusakan Citarum, saatnya kita tidak hanya berpikir soal politik kekuasaan, tetapi juga politik lingkungan. Bukan hanya soal democracy, melainkan juga ecocracy. Tanpa adanya kesadaran soal lingkungan, kita khawatir keinginan kita menatap Indonesia emas pada Agustus 2045 hanya menghasilkan generasi Indonesia yang cemas.