Sepeda Jokowi
The bicycles is the noblest invention of mankind.
William Saroyan, novelis, penerima hadiah Nobel
Pada tengah 1980-an, di sebuah majalah sastra saya membaca cerita pendek, berkisah tentang sebuah sepeda.
Syahdan, ada seorang pemuda miskin yang sangat ingin punya sepeda. Karena profesinya ”hanya” seorang pengarang, ia harus mencari akal untuk mencapai cita-citanya. Akal pun ditemukan: ia mengumpulkan berbagai onderdil sepeda. Onderdil itu bisa ia pulung dari sampah bengkel, ditemukan di pinggir jalan, ia minta dari orang yang dikenal dan tak dikenal, atau dibeli dengan uangnya yang cuma sejimpit.
Dalam kurun waktu yang panjang, onderdil yang terkumpul itu dianggap cukup. Lalu batang sepeda, gir, batang kemudi, sadel, pedal ontel, velg, jeruji, rantai, sampai lampu ia rakit menjadi sepeda. Pemuda itu sangat bangga atas sepeda hasil menabungnya. Namun, sepedanya dianggap tak komplet lantaran belum punya bel. Untuk membeli bel yang mengilap, ia lantas membuat karangan (karya tulis) yang isinya mengenai upayanya menabung onderdil sepeda tersebut.
Dalam pikirannya, apabila karangan itu dimuat, ia akan dapat honorarium untuk beli bel. Benar saja, karangan itu dimuat. Ia pun dapat honorarium melalui wesel yang harus diuangkan di kantor pos. Dengan gembira ia mengayuh sepedanya ke kantor pos. Ketika uang honorarium di tangan, bunyi kring-krang-kring- krang dirasakan sudah berkumandang. Ia pun bergegas menuju sepedanya yang diparkir di halaman kantor pos. Apa mau dikata, sepeda yang belum dikunci raib digondol pencuri! Ia menangis dalam hati. Namun, tekad punya sepeda tak pudar. Ia mulai mengumpulkan onderdil lagi, dimulai dari sebuah bel.
Sepeda ternyata adalah benda pujaan sejak dulu! Tokoh seni rupa Sudjojono mengatakan, sepeda adalah benda yang harus ia miliki pertama kali. ”Sepeda adalah lambang otonomitas seseorang. Dengan sepeda, seseorang diharuskan sepenuhnya menguasai dirinya sendiri,” katanya.
Dirinya mempelajari filosofi sepeda dari JK Starley, pengembang bentuk dan teknologi sepeda akhir abad ke-19. Sekali saja orang bisa naik sepeda, seumur hidup ia akan bisa naik sepeda. Barangkali ia ingin menegaskan: sekali orang memercayai otonomi pribadinya, seumur hidup ia memiliki otonomitas itu.
Leonardo da Vinci ditengarai sudah mereka-reka bentuk (seperti) sepeda pada abad ke-15, tetapi sepeda baru pertama kali diwujudkan pada 1790 oleh Comte Mede de Sivrac dari Perancis dengan bahan kayu. Kendaraan yang dinamai celerifere itu dilengkapi Baron Karl von Drais dari Jerman pada 1816.
Sepeda yang dinamai draisine ini dianggap lebih praktis karena punya batang kemudi yang terhubung dengan roda depan. Lalu, sepeda pun bertualang ke mana-mana di jalanan Eropa.
Namun, kian jauh sang sepeda mengembara, kian banyak orang yang ingin menyempurnakannya. Sampai akhirnya seorang pandai besi dari Skotlandia, Kirkpatrick Macmillan, menambahkan dua pedal kaki di kiri dan kanan, yang difungsikan sebagai pemutar gir penggerak roda. Sejarah mengakui, sepeda ala Macmillan inilah yang jadi model perkembangan sepeda ke zaman depan, sampai Starley memfinalkan menjelang abad ke-20.
Sepeda pun diam-diam menjadi bagian utama dari sisik melik kehidupan manusia di mana-mana. Sepeda tak hanya ada di sekujur kota Eropa, tapi juga melintas-lintas di pedalaman Botswana, Afrika. Sepeda tak cuma kelihatan menyemut di China dan Vietnam, tapi juga di pelosok-pelosok Mesir dan Iran.
Pada suatu masa, ayah saya yang tinggal di Rogojampi (desa kecil di selatan Banyuwangi) tak henti membanggakan sepedanya yang bermerek Simplex, dengan tromol asli. ”Ini oude fiets bikinan Amsterdam yang tak ada duanya,” katanya. Padahal, ayah memiliki truk Chevrolet dan Dodge yang tentu jauh lebih mahal harganya. Adik iparnya yang punya motor gede Norton justru membanggakan sepeda lelakinya yang bermerek Peugeot, bikinan 1910.
Sepeda Jokowi
Sepeda memang tak pernah bisa ditinggalkan karena sampai kapan pun sepeda akan dipakai, atau paling tidak, dirindukan. Apalagi ketika sepeda sudah telanjur menjadi benda legenda, yang di dalamnya mengantar fabula docet, dongeng imajinatif yang memberikan pengajaran.
”Sepeda saya pandang sebagai banteng yang selalu tahu tujuan. Pengendara sepeda selalu tak hendak menoleh ke belakang,” kata Pablo Picasso, perupa terbesar abad ke-20, kala mencipta patung Bull’s Head yang terbuat dari sadel sepeda dan setang sepeda. Ki Oto Suastika (Siauw Tik Kwie), komikus, penulis, dan penyebar filsafat Jawa, mengatakan, sepeda sering menjadi benda rujuk dalam ”filsafat rasa hidup” Ki Ageng Suryomentaram.
”Dengan sepeda, seseorang akan menguasai diri sendiri. Dengan sepeda, seseorang akan menjaga keseimbangan, menerima yang kiri, menerima yang kanan. Dengan sepeda, seseorang akan menyapa semesta, melihat bumi, bersahabat dengan angin. Dengan sepeda, seseorang akan menggerakkan seluruh indranya, dari telapak kaki sampai bola matanya. Dengan sepeda, seseorang akan selalu berjalan ke depan.”
Belum jelas benar adakah hasrat Presiden Jokowi untuk selalu menghadiahkan sepeda kepada banyak orang berangkat dari cerita-cerita di atas atau tidak. Namun, bahwa sepeda benda inspiratif yang berguna pakai, efisien, antipolusi, berkelindan filosofi, agaknya selalu ingin ia sampaikan. Sepeda yang selalu dirindu itu lantas dijadikan ikon kenangan nan tak terlupakan. Lalu, sepanjang 2017 rakyat Indonesia pun bersukacita setiap kali mendengar kata sepeda.
Agus Dermawan Pengamat Kebudayaan; Konsultan Koleksi Benda Seni Istana Presiden