Pemerintah Suriah menggelar operasi militer untuk merebut Provinsi Idlib dan Gouta, yang dikuasai kelompok oposisi serta Negara Islam di Irak dan Suriah.
Pada 2017, Provinsi Idlib, Gouta Timur, Homs, dan daerah di selatan Suriah dicanangkan sebagai daerah deeskalasi. Selain untuk menghentikan pertempuran di empat wilayah itu, kesepakatan deeskalasi itu untuk menawarkan keamanan bagi warga di wilayah tersebut.
Namun, Pemerintah Suriah dibantu Rusia, Iran, dan Turki mengabaikan kesepakatan itu dan terus membombardir wilayah tersebut. Senin (8/1), dibantu pesawat Rusia, milisi pendukung Presiden Bashar al-Assad melakukan operasi militer besar-besar hingga menewaskan 40 warga di Idlib dan Gouta Timur.
Provinsi Idlib dan kawasan di dekat Damaskus merupakan area terbesar yang berada di bawah kekuasaan kelompok oposisi. Seperti ditulis harian ini, Selasa (9/1), dalam sepekan terakhir, operasi gabungan berupaya membombardir sejumlah titik sasaran di kawasan itu.
Melemahnya kekuatan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), baik di Suriah maupun di Irak, membuat rezim Al-Assad berupaya mengembalikan pengaruhnya di wilayah yang sempat lepas dari tangannya. Pemerintah telah dapat mengambil alih kembali lebih dari separuh wilayah di seluruh Suriah.
Kelompok oposisi terus memberikan perlawanan. Hari Minggu lalu, misalnya, ledakan keras di basis kelompok milisi pendukung pemerintah, Ajnad al-Qawqaz, menyebabkan 34 orang tewas. Sehari kemudian, jumlah korban tewas bertambah menjadi 57 orang.
Pertempuran juga terjadi di wilayah Gouta Timur di kota Harasta. ”Pasukan Suriah telah mengakhiri upaya perlawanan yang dilakukan kelompok bersenjata di Harasta,” demikian dilaporkan kantor berita Suriah, SANA.
Hingga kini, operasi militer Pemerintah Suriah dibantu Rusia dan Iran berhasil merebut beberapa desa di Idlib dan Gouta Timur. Namun, operasi militer yang dimulai pekan lalu menyebabkan sekitar 100.000 pengungsi keluar dari Idlib menuju perbatasan Turki. Sejak perang saudara meletus di Suriah pada 2011, sekitar 4 juta warga Suriah keluar dari negaranya.
Dibantu Rusia dan Iran, loyalis Al-Assad berhasil mengubah dari perang untuk menurunkan rezim menjadi perang melawan terorisme. Meski melemah, Prof James Gelvin dari Universitas California, Los Angeles, tetap yakin kelompok oposisi masih akan bertempur dalam beberapa waktu ke depan. Artinya, akan ada lebih banyak korban dan pengungsi.
Namun, Gelvin mengingatkan, sebagian besar wilayah tidak akan dikuasai sepenuhnya oleh pasukan pemerintah, tetapi oleh kelompok milisi yang terkait dengan Al-Assad, seperti milisi Hezbollah di Lebanon atau milisi dukungan Iran.
Pengamatan Gelvin mirip dengan prediksi Lakhdar Brahimi, mantan Utusan Khusus Liga Arab. Menurut Brahimi, Suriah bisa menjadi seperti Somalia, ada pemerintahan, tetapi tidak sepenuhnya menguasai teritorial negaranya.