Ufuk 2018 baru saja tiba, saat ponsel saya menerima dua pesan WA yang rupanya sudah viral. Keduanya bermaksud sama walau ditulis dengan gaya berbeda. Membaca keduanya mirip melihat simpulan tentang tahun yang baru saja dilewati.
Pesan pertama, konon ditulis Goenawan Mohamad, berkisah tentang kegundahan dan kesedihannya melihat bagaimana masyarakat makin terpecah—atau berhasil dipecah—dan diwarnai kebencian. Dan perpecahan itu, di tahun politik 2018, akan kian jadi problem yang mengancam. Pesan kedua bernada sama, tetapi ditulis dengan bahasa lebih analitis karena diambil dari kolom Abdillah Toha, ”Kaleidoskop 2017: Tahun Keprihatinan Beragama” (GeoTimes, 30/7/2017). Toha bagai mengurai fenomena yang membuat GM gundah.
Dengan bahasa lugas, Toha menelisik setidaknya tujuh faktor penyebab sikap sebagian umat Muslim akhir-akhir ini mengeras dan tampil lebih agresif, mulai dari pembiaran pada masa dua periode pemerintahan SBY, faktor Pilkada DKI April lalu, sampai militansi dan pengorganisasian yang berhasil diterapkan oleh organisasi-organisasi ”intoleran” itu. Lagi-lagi, Toha mewanti-wanti bahwa kecenderungan yang ada yang makin memanas saat memasuki tahun politik dan pertarungan akbar Pilpres 2019.
Gegar budaya medsos
Saya tak bermaksud mengulas tujuh faktor yang disebut Toha di sini. Siapa pun yang cukup dekat mengamati, bahkan ikut terlibat, dalam arus peristiwa sepanjang 2017 akan dengan mudah mengamini analisis tersebut. Namun, satu faktor yang disebut Toha perlu mendapat perhatian khusus karena mengantar kita pada tantangan yang bahkan bersifat global: maraknya penggunaan media sosial (medsos) sebagai ajang kampanye, baik untuk mendulang suara maupun untuk menghancurkan citra lawan. Dan kita tahu, Pilkada DKI lalu merupakan salah satu rangkaian dari sangat intensifnya pemakaian medsos dalam pertarungan politik yang titik awalnya bisa dicandra sejak Pilkada DKI 2012.
Memang belum ada penelitian menyeluruh, tetapi bisa ditengarai kampanye Presiden Obama (2008) dan gejolak Musim Semi Arab (2010) merupakan dua peristiwa dunia ketika medsos membuktikan kesaktiannya. Indonesia mengambil alih senjata itu, lalu mulai dipakai saat Pilkada DKI 2012, memuncak dalam Pilpres 2014, dan kembali dalam Pilkada DKI 2017. Bisa diancar- ancar, Pilpres 2019 juga akan sangat diwarnai oleh penggunaan medsos.
Tentu sah-sah saja memakai medsos untuk kepentingan politik. Namun, sebagaimana didokumentasi dan dianalisis dengan sangat bagus oleh Cherian George, yang terjemahan Indonesia bukunya belum lama ini diluncurkan PUSAD-Paramadina, medsos merupakan humus yang paling pas bagi penyebaran hoaks ataupun pelintiran kebencian. Mengapa? Menurut saya, ini terkait erat dengan, setidaknya, tiga karakteristik medsos yang berbeda dari media konvensional (cetak dan elektronik) dan patut dicermati.
Pertama, jumlah dan perputaran informasi yang membeludak dalam medsos membuat sulit sekali orang mengambil jarak kritis dengan apa yang diterimanya. Padahal, jarak kritis ini sangat penting agar orang mampu mencerna dan menilai informasi yang diserap. Bayangkan saja, setiap hari ada ribuan, ratusan ribu, bahkan jutaan informasi yang beredar cepat dari berbagai penjuru dunia melalui medsos. Sudah tentu tak seorang pun dapat mengikuti semua, apalagi memilah, mencerna, dan menilainya. Maka, lama-lama kita hanya sekadar mengonsumsi berita tanpa mampu kritis mencernanya.
Masalahnya jadi lebih rumit karena, kedua, dalam medsos hampir tak dimungkinkan verifikasi untuk menentukan kebenaran suatu informasi. Sebabnya sederhana: jumlah informasi yang diterima terlalu banyak dan beragam, juga berubah dengan sangat cepat, sehingga tak memberi waktu cukup melakukan verifikasi. Apalagi sumber ”tangan pertama” informasi yang beredar melalui medsos biasanya sulit dilacak. Celah inilah yang kerap dipakai mereka yang memang berniat menyebar berita-berita hoaks, atau kampanye hitam dan pelintiran kebencian selama musim pemilu.
Hal ini terkait erat dengan soal ketiga yang menjadi karakteristik medsos: dalam medsos, Anda sekaligus pembuat, penyunting, ataupun penyebar informasi. Tak ada orang atau pihak lain yang terlibat di situ sebagai penyeimbang. Anda sendiri yang bertanggung jawab terhadap isi berita yang dibuat dan disebar. Dunia medsos, boleh dibilang memang semacam ”rimba anarkis” yang tak punya aturan dan sensor. Di situ hanya berlaku adagium ”Jarimu Harimaumu!”
Jadi, kehadiran medsos merupakan—meminjam frase Alvin Toffler—gegar budaya (cultural shock) bagi kita. Malah, kalau dicermati fenomena sekarang, bukan hanya kita di Indonesia yang harus berhadapan dengan gegar budaya itu, melainkan juga di seluruh dunia. Dan persoalan itu sungguh berbahaya karena menumpulkan kemampuan mengambil jarak kritis yang sangat diperlukan dan menenggelamkan kita semua dalam arus pergerakan informasi yang supercepat tanpa mampu menguji kebenarannya. Itu sebabnya kita bergerak memasuki abad pasca-kebenaran yang jadi cuaca politik sekaligus tantangan peradaban ke depan.
Politik autentik
Persis karena tantangan peradaban itulah, menurut saya, kita merindukan figur Sokrates, lebih dari figur lain. Memang benar, kita tak pernah tahu figur ”Sokrates historis”. Itu bukan urusan kita mengingat upaya menggali figur ”Sokrates historis” tak kalah rumit dengan mencari figur ”Yesus historis”. Namun, setidaknya, figur Sokrates sebagaimana ditampilkan dalam dialog-dialog Platon, yang berabad-abd sudah menginspirasi peradaban, merupakan figur yang sangat dibutuhkan dalam situasi sekarang.
Salah satu alasan pokoknya adalah keberanian Sokrates mempertanyakan dan menguji setiap pendakuan kebenaran secara kritis dan, dengan cara itu, membongkar kedok ”sok tahu” lawan debatnya. Itulah ironi dan metode elenchus Sokrates yang sudah terkenal. Kepada setiap orang, ia selalu menandaskan bahwa ia tak tahu apa-apa dan, karena itu, mengajak mereka yang merasa tahu menyelidiki kebenaran. Ujung-ujungnya, mereka yang merasa tahu justru sebenarnya tak tahu apa-apa, sementara Sokrates sebenarnya ”tahu bahwa ia tak tahu”. Itulah kebijaksanaan yang sangat dihargai konon oleh Dewa Apollon lewat orakel Delphoi tentang Sokrates sebagai ”yang paling bijak” (Apology, 20e-21b).
Lebih dari itu, Sokrates juga melihat upayanya mempertanyakan dan menguji setiap pendakuan kebenaran sebagai praktik politik yang autentik. Bahkan, ia mendaku, mungkin dialah satu-satunya orang di Athena yang masih menghayati dan mempraktikkan seni politik autentik itu (Gorgias, 521d). Ia sadar bahwa masa depan polis yang sangat ia cintai hanya akan bertahan bila warga yang menghuninya sungguh-sungguh berpengetahuan tentang ”hal-hal paling penting”, yakni keutamaan (arete). Ini hanya dapat ditumbuhkan lewat dialog intim, pencarian bersama: Sokrates bekerja bak ”bidan jiwa” agar orang mampu temukan dan kembangkan keutamaan mereka. Sikap dan praktik politik autentik ala Sokrates itulah yang sekarang amat dibutuhkan saat berhadapan dengan tantangan peradaban yang dibawa cuaca ”pasca-kebenaran”. Juga bagi perjalanan demokrasi kita saat menapaki tahun politik 2018.
Trisno S Sutanto Periset Independen; Aktivis Madia (Masyarakat Dialog Antaragama), Jakarta