Meskipun terus menguat, mencapai rekor tertinggi, struktur cadangan devisa Indonesia dinilai rapuh terhadap kemungkinan pembalikan modal asing.
Cadangan devisa Indonesia, menurut Bank Indonesia, mencapai rekor tertinggi 130,2 miliar dollar AS pada Desember 2017, meningkat 4,23 miliar dollar AS dibandingkan November. Kenaikan ini terutama bersumber dari penerbitan surat utang global pemerintah sebesar 4 miliar dollar AS pada Desember 2017 serta penerimaan pajak dan devisa ekspor migas bagian pemerintah.
Dari kemampuan menopang kebutuhan devisa jangka pendek, cadangan devisa sebesar ini dianggap aman karena melebihi kebutuhan untuk membayar utang luar negeri jatuh tempo pemerintah dan BI, dan cukup untuk membiayai lebih dari 8 bulan impor, atau di atas standar kecukupan internasional tiga bulan impor.
Kendati demikian, struktur cadangan devisa ini rentan terhadap tekanan penarikan modal asing, khususnya yang diperkirakan terjadi pada paruh kedua 2018. Beberapa faktor yang bisa memicu pembalikan modal terutama adalah pemangkasan pajak dan kenaikan bunga acuan Bank Sentral AS. Penurunan pajak dan kenaikan bunga AS ini berpotensi memicu pembalikan arus modal dari negara berkembang karena membuat investasi di dalam negeri AS atau dalam dollar AS menjadi lebih menarik.
Sejauh ini, pemerintah, otoritas moneter, dan kalangan ekonom kita memang optimistis kedua faktor eksternal itu tak akan berpengaruh signifikan pada Indonesia. Selain karena prospek ekonomi Indonesia masih menarik—dengan pertumbuhan masih di kisaran 5 persen—dan stabilitas makroekonomi terjaga, investor cenderung lebih memperhatikan faktor jangka panjang.
Membaiknya indeks daya saing, peringkat kemudahan berusaha, dan peringkat utang jangka panjang pemerintah, serta masih menariknya imbal hasil investasi dan terus menurunnya credit default swap sebagai indikator kerentanan suatu negara, membuat persepsi investor global terhadap Indonesia juga membaik. Efeknya, arus modal asing ke pasar keuangan domestik mencapai Rp 138 triliun pada 2017, IHSG mencapai rekor tertinggi 6.355 di pengujung 2017, dan kepemilikan asing terus meningkat di surat utang negara (SUN).
Pada satu sisi, hal itu menunjukkan tingginya kepercayaan investor kepada Indonesia, tetapi porsi asing yang besar di portofolio dan SUN (40,34 persen saat ini) juga menempatkan Indonesia pada posisi rawan jika terjadi pembalikan modal asing secara tiba-tiba. Oleh karena itu, selain menjaga fundamen dan stabilitas makroekonomi, membatasi kepemilikan asing dengan memperkuat basis investor domestik di pasar modal dan kepemilikan SBN oleh investor domestik menjadi penting.
Namun, tak kalah penting, untuk keberlanjutan, ketahanan eksternal dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi ke depan, idealnya peningkatan cadangan devisa bukan berasal dari penerbitan utang atau arus modal asing yang bersifat jangka pendek (hot money), melainkan dari pendapatan ekspor dan sumber lain, seperti remitans dan devisa pariwisata.
Untuk itu, Indonesia harus mampu memanfaatkan momentum membaiknya perekonomian global pada 2018, dengan menggenjot devisa dari sektor-sektor tersebut. Memperluas basis industri dan ekspor, khususnya manufaktur bernilai tambah tinggi, menjadi penting. Potensi devisa dari sektor pariwisata dan remitans juga masih sangat terbuka luas untuk digenjot.