Lowongnya Kursi Ketua DPR
Sudah lebih dari satu bulan kursi ketua DPR kosong ditinggalkan Setya Novanto yang ditahan dan diadili karena kasus korupsi pengadaan KTP elektronik.
Novanto mundur sebagai ketua DPR. Kekuasaannya di Partai Golkar hilang. Munas Luar Biasa Partai Golkar memilih Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Saat berada di balik tahanan KPK, Novanto masih sempat mengusulkan nama Aziz Sjamsuddin sebagai ketua DPR. Namun, nama Aziz tak diterima bulat di kalangan internal fraksi Partai Golkar. Akibatnya, Ketua DPR dipimpin seorang Pelaksana Tugas Ketua DPR Fadli Zon.
Kursi ketua DPR tidak bisa dibiarkan kosong terlalu lama. Kekisruhan demi kekisruhan DPR 2014-2019 tidak bisa dilepaskan dari ”kecelakaan” sejarah perubahan mekanisme pemilihan pimpinan DPR dari prinsip proporsionalitas menjadi sistem paket. Prinsip itu, meskipun disepakati secara demokratis oleh DPR 2009-2014, tidak sesuai dengan prinsip pemilu, yang menyatakan partai politik pemenang pemilu berhak menjadi pimpinan DPR. Nafsu kekuasaan sebagai dampak ikutan hasil pemilu presiden itulah yang membuat politik kehilangan rasionalitasnya.
”Kecelakaan” sejarah itu harus kita terima sebagai realitas politik. Kecelakaan itu harus jadi pelajaran. Penunjukan ketua DPR yang menjadi haknya Partai Golkar sepertinya akan dibarter dengan pembahasan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Cara itu tidak bijaksana. Manuver itu bakal menyandera DPR sebagai lembaga. Penunjukan ketua DPR tidak perlu menunggu revisi UU MD3 hanya untuk memberikan kursi kepada parpol pemenang pemilu. Namun, pembahasan revisi UU MD3 harus menjadi prioritas setelah ketua DPR baru ditunjuk Partai Golkar.
Siapa pun yang akan ditunjuk Partai Golkar sebagai ketua DPR akan memiliki tanggung jawab berat. Memulihkan citra DPR yang dinilai publik buruk dan banyak anggota DPR yang terlibat kasus korupsi merupakan variabel yang harus dipertimbangkan Partai Golkar. Meskipun tidak ada aturan formal, Partai Golkar perlu betul-betul mempertimbangkan suara publik, suara fraksi, guna mendapatkan satu nama yang bisa diterima untuk dapat membangkitkan DPR dari keterpurukan. Kualitas dan persepsi publik terhadap DPR ikut ditentukan pernyataan-pernyataan politik yang muncul dari pimpinannya. Pernyataan asal beda dari pimpinan tidak menolong perbaikan citra DPR.
Citra DPR akan ditentukan dengan kemampuan ketua DPR mengartikulasikan fungsi, peran, dan pandangan politik DPR. Yang juga harus dipahami, ketua DPR bukanlah bos dari 560 anggota DPR. Dia adalah juru bicara DPR yang menuntut kredibilitas pimpinan DPR yang memahami arti demokrasi, memahami peran dan fungsi parlemen. Integritasnya sama sekali tidak diragukan.
DPR membutuhkan sosok pimpinan yang betul-betul layak menyandang status ”Yang Terhormat”, bukan sosok yang tercela karena rekam jejaknya. Sebagai partai yang berpengalaman, Partai Golkar memiliki sosok-sosok yang memenuhi persyaratan. Setelah pimpinan DPR terpilih, revisi UU MD3 menjadi keniscayaan politik agar semangat lembaga perwakilan sejalan dengan prinsip sebuah pemilu.