Demokrasi dan Kesejahteraan
Tunisia kembali dilanda krisis setelah berhasil melewati Musim Semi Arab 2011 cukup mulus. Na- mun, penyebab krisisnya sama, beban ekonomi mencekik rakyat.
Sampai hari Kamis (11/1), sudah lebih dari 600 demonstran ditangkap. Bahkan, hari Rabu lalu, aparat menangkap 328 demonstran yang tetap fokus pada tuntutannya, yakni perbaikan kondisi ekonomi. Demonstrasi itu juga disertai oleh perusakan gedung milik pemerintah, termasuk kantor polisi.
Pekan lalu, demonstrasi berlangsung damai dan mulai Senin malam terjadi penjarahan, kekerasan terhadap aparat, dan pembakaran fasilitas pemerintah. Sebaliknya, demonstran menuding polisi yang terlebih dulu melakukan tindak kekerasan.
Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Tunisia, Khalifa Chibani, mengatakan, demonstran melukai puluhan polisi dan merusak sejumlah bangunan dan menjarah. ”Unjuk rasa tidak terkait dengan demokrasi atau tuntutan sosial,” kata Chibani.
Nyatanya, harga-harga termasuk harga obat-obatan di Tunis, ibu kota Tunisia, terus naik. Sebaliknya, gaji tidak naik. Hal ini terjadi menyusul kebijakan Perdana Menteri Youssef Chahed yang mengetatkan anggaran dan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan kontribusi sosial.
Chahed juga mengecam oposisi yang dituding memperburuk suasana. Ia berharap warga Tunisia memahami situasi negara yang dalam keadaan sulit. ”Pemerintah siap menyerap aspirasi. Akan tetapi, semua pengunjuk rasa harus melakukannya dengan damai,” katanya.
Pada awal tahun 2011, demonstrasi warga di Tunis berhasil menggulingkan pemerintahan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali, yang sudah berkuasa 23 tahun. Ben Ali menggunakan pendekatan represif untuk menghentikan gelombang demonstrasi sebagai protes terhadap pengangguran, harga melambung tinggi, dan korupsi itu. Namun, Tunisia berhasil melewatinya dengan relatif mulus.
Tujuh tahun berlalu dan sembilan pemerintahan telah mencoba memperbaiki kondisi ekonomi Tunisia. Namun, ekonomi Tunisia belum juga membaik, apalagi kondisi pariwisata Tunisia terganggu akibat teroris dan investasi luar negeri belum juga banyak yang masuk.
Harga pangan di Tunisia naik 8 persen setiap tahun sejak 2011, dan inflasi terus naik dalam 18 bulan terakhir. Di samping itu, kesenjangan sosial juga semakin dalam, pengangguran dan buta huruf terus meningkat, khususnya di kalangan anak muda.
Pada 2015, Dana Moneter Internasional (IMF) memberikan pinjaman cukup besar, 2,9 miliar dollar AS (sekitar Rp 40 triliun). Namun, pada Desember 2017, IMF menyatakan, Tunisia harus melakukan ”tindakan mendesak dan tegas” untuk mengurangi defisit anggarannya yang terus membesar. Untuk itu, Chahed melakukan pengetatan anggaran dan kebijakan lain untuk meningkatkan penerimaan negara.
Apa yang terjadi di Tunisia sekali lagi mengingatkan kita bahwa rakyat tidak bisa diajak bersabar jika urusan perut mereka terganggu. Bernegara dan berdemokrasi harus berjalan seiring dengan kesejahteraan warganya.