Fokus pada Pertumbuhan Kredit
Kinerja dirjen pajak sebelumnya, Ken Dwijugiasteadi, yang bertugas sejak Maret 2016, sebenarnya tak dapat dikatakan buruk. Keberhasilan program amnesti pajak, walau belum mencapai target, turut mendorong penerimaan pajak. Penerimaan negara terutama dari pajak merupakan salah satu prioritas pemerintah saat ini. Masyarakat dan pelaku ekonomi merespons positif kebijakan pembangunan infrastruktur untuk terus memacu ekonomi lewat pemerataan pembangunan dan peningkatan daya saing meski di tengah tekanan ekonomi global.
Anggaran infrastruktur dalam RAPBN 2018 sebesar Rp 409 triliun meningkat 5,6 persen dari APBN 2017 sebesar Rp 387,3 triliun. Menurut pemerintah, kebutuhan investasi infrastruktur periode 2015-2019 mencapai Rp 5.000 triliun. Pemerintah hanya mampu menutup 40 persen, sisanya diharapkan dari swasta.
Untuk mencapai penerimaan pajak sesuai target RAPBN, harus ada upaya serius mendorong peningkatan ekonomi melalui pertumbuhan sektor riil. Negara harus mendorong tumbuhnya pengusaha baru agar tercipta nilai tambah, mengurangi pengangguran dan ketimpangan ekonomi. Pemerintah juga perlu merumuskan pola insentif pajak yang tepat sehingga pengusaha merasa nyaman mengembangkan usaha dan tak keberatan memenuhi kewajiban pajak.
Di sini, transparansi dan akuntabilitas pemerintah adalah harga mati agar mendapat kepercayaan dari kalangan pengusaha dan sebaliknya pengusaha juga harus percaya kepada pemerintah bahwa dana pajak yang dibayarkan memang dipergunakan untuk pembangunan ekonomi secara berkesinambungan, terutama untuk infrastruktur.
Pada 2016, penerimaan pajak tak mencapai target, yakni hanya Rp 1.283,6 triliun atau 83,4 persen dari target APBN Perubahan (APBN-P) 2016 sebesar Rp 1.539,2 triliun. Angka ini sudah termasuk sumbangan dari program amnesti pajak sebesar Rp 107 triliun sehingga memberi kontribusi 82,72 persen terhadap total pendapatan negara yang mencapai Rp 1.551,78 triliun.
Selama ini, pemerintah dalam mengejar pajak lebih banyak ”berburu di kebun binatang”, mengejar wajib pajak (WP) yang sudah patuh. Masih banyak potensi pajak yang belum diburu, seperti para pengusaha pertambangan dan bisnis daring. Pengusaha pertambangan yang membayar pajak kurang dari 50 persen. Menurut studi McKinsey, terdapat 250 miliar dollar AS atau Rp 3.250 triliun harta WNI di luar negeri, di mana Rp 2.600 triliun disimpan di Singapura.
Dalam APBNP 2017, dengan target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen, target penerimaan negara ditetapkan Rp 1.736,06 triliun dan penerimaan pajak sebesar Rp 1.472,70 triliun (84,8 persen). Pada Pagu RAPBN 2018, dengan target pertumbuhan PDB 5,4 persen, penerimaan negara ditargetkan Rp 1.878,45 triliun dengan penerimaan pajak Rp 1.609,38 triliun (85,7 persen) atau meningkat Rp 136,7 triliun (9,3 persen) dari periode sama 2017 (year on year/YOY).
Harus diakui, mustahil bagi pemerintah meningkatkan penerimaan pajak jika tak dibarengi peningkatan perputaran bisnis. Mendorong pertumbuhan bisnis akan vital bagi pertumbuhan pajak. Sejauh ini kinerja pemerintah sudah baik untuk menarik minat WP melalui program amnesti pajak. Peningkatan peringkat kemudahan berbisnis dan daya saing tak akan berarti banyak jika tak diwujudnyatakan dalam peningkatan investasi, pertumbuhan bisnis baru yang berujung pada pengurangan pengangguran, pengentasan rakyat dari kemiskinan, dan pengurangan kesenjangan ekonomi.
Paradigma kredit
Saatnya bagi bank mengubah paradigma pengucuran kredit untuk memacu pertumbuhan bisnis Indonesia agar bisa memacu perekonomian dan imbal baliknya adalah penerimaan perpajakan. Selama ini, pemerintah, melalui BI, sudah menurunkan BI Rate-7 Days Repo ke 4,25 persen (per 16/11/2017), dari 5,5 persen (21/4/2016), 5,25 persen (16/6/2016), 5,00 persen (22/9/ 2016), 4,75 persen (20/10/2016), dan 4,50 persen (22/8/2017). Namun, penurunan ini belum cukup memacu akselarasi pertumbuhan kredit?
Memang benar saat ini daya beli masyarakat sedang melemah, tetapi alasan terkuat adalah belum terlihat adanya rasa saling percaya antara pemerintah, bank, dan pelaku usaha. Bank belum yakin menyalurkan kredit karena takut macet. Pelaku usaha juga belum terlalu yakin kepada pemerintah dalam mewujudkan iklim usaha kondusif dan menguntungkan, terutama tecermin dari regulasi serta kondisi politik dan keamanan, apalagi ada agenda politik besar Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Perbankan lebih mengikuti paradigma lama dalam penyaluran kredit, mengacu pada sektor industri saja dan bukan pada analisis komprehensif pada nasabah. Sebagai contoh, perbankan kini akan menghindari penyaluran kredit pada nasabah terkait sektor komoditas, seperti batubara dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) baik debitor lama (existing) maupun debitor baru meski kondisi sudah membaik.
Kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) bank memang meningkat dari sektor komoditas, tetapi jika ditelisik tak semua pengusaha sektor komoditas buruk seiring penurunan harga dan permintaan batubara dan CPO. Lagi pula dalam periode dua tahun terakhir, 2016-2017, kedua sektor sudah menunjukkan tren peningkatan dan telah kembali normal meski agak sulit menyamai tren puncak pada 2010-2012. Dalam hemat penulis, saat ini harga batubara dan CPO overrated dan tak normal.
Perbankan sebaiknya tak perlu paranoid menyalurkan kredit ke pengusaha existing meski terkait sektor komoditas, walaupun tidak dalam jumlah seperti pada periode puncak. Menurut penulis, proses ”seleksi alam” telah berakhir serta perusahaan-perusahaan pertambangan dan terkait yang bertahansaat ini bisa dikatakan telah tahan uji. Selain itu perlu bagi perbankan untuk menyalurkan kredit bagi para usaha rintisan (start up) industri kreatif untuk terus mendorong munculnya pusat inovasi baru.
Salah satu kekurangan para penggiat start up industri adalah pada aspek kolateral saat pengajuan kredit di mana mereka umumnya tak punya hard assets berupa tanah, bangunan, kendaraan atau emas yang dapat dijadikan agunan. Usaha-usaha kreatif seperti transportasi daring dan belanja daring(e-commerce) yang muncul saat ini lebih memiliki soft assets berupa ide bisnis inovatif, rantai pasok, dan SDM. Perbankan perlu memikirkan produk layanan kredit yang tepat untuk mendorong pertumbuhan industri ini.
Berdasarkan kajian Badan Ekonomi Kreatif dan BPS (8/3/ 2017), sektor industri ekonomi kreatif kini sudah berkembang pesat. Pada 2015, PDB ekonomi kreatif Rp 852 triliun (kontribusi 7,38 persen pada PDB nasional) atau tumbuh 4,38 persen dari Rp 784,82 triliun 2014, menyerap 15,9 juta tenaga kerja (13,9 persen secara nasional), dan nilai ekspor 19,4 miliar (12,88 persen). Adapun kuliner (41,69persen), fashion (18,15 persen), dan kriya (15,7 persen) menjadi subsektor penyumbang ekonomi kreatif. Namun, sayangnya, permodalan ekonomi kreatif umumnya dari modal sendiri (92,37 persen). Perbankan dan modal ventura hanya memiliki porsi 24,44 persen dan 0,66 persen.
Konsumsi ke produksi
Penerimaan negara dari pajak masih bisa ditingkatkan dengan mengubah model perekonomian dari saat ini mengandalkan konsumsi menjadi produksi. Dari pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini di kisaran 5 persen, berkisar 56-60 persen disumbang konsumsi rumah tangga. Pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada produksi akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Semakin banyak orang yang bekerja dan berbisnis, semakin banyak yang membayar Pajak Penghasilan (Pph) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sebenarnya terbuka ruang cukup besar bagi perbankan memacu pertumbuhan kredit. Berdasarkan data BI, realisasi penyaluran kredit pihak ketiga bank per September 2017 Rp 4.580,52 triliun, meningkat dari Rp 4.413,41 triliun (Desember 2016) dan Rp 4.092,10 triliun (Desember 2015), sementara realisasi penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) per September 2017 Rp 5.142,89 triliun meningkat dari Rp 4.836,75 triliun (Desember 2016) dan Rp 4.413,05 triliun (Desember 2015).
Dengan demikian, rasio kredit terhadap DPK (loan to deposit ratio/ LDR) 89,06 persen (September 2017), 91,24 persen (Desember 2016), dan 92,72 persen (Desember 2015). LDR masih ideal di angka 95-98 persen, sementara untuk pertumbuhan kredit setidaknya 12-13 persen demi memenuhi target pertumbuhan ekonomi nasional.
Mengacu pada data penerimaan pajak 2015 sebesar Rp 1.240,41 triliun, pada 2016 sebesar Rp 1.539,16 triliun, dan Rp 770,7 triliun (September 2017), maka dapat dihitung rasio penerimaan pajak terhadap kredit perbankan adalah 30,3 persen (2015), 34,8 persen (2016), dan 16,8 persen (September 2017). Hemat penulis sebaiknya rasio ini bisa di angka lebih dari 35 persen agar pertumbuhan pajak dan kredit bank optimal.
Diperlukan sinergi positif dan saling percaya antara pemerintah, perbankan, dan pelaku usaha dalam satu horizon dan koridor transparansi, akuntabilitas, dan rasa memiliki.
Santo Rizal Samuelson Pemerhati Ekonomi Indonesia, Finance & Investor Relation di PT Graha Prima Energy