”Quo Vadis” Produktivitas
Dalam berbagai kesempatan dan terakhir di Bekasi saat menyerahkan sertifikat pemagangan, Presiden Joko Widodo menyebut sumber daya manusia sebagai kekuatan besar bangsa Indonesia. Setelah pembangunan infrastruktur, pemerintah mengalihkan perhatiannya pada pembangunan SDM Indonesia yang unggul.
Menurut Presiden, mempersiapkan SDM unggul sejak dini hal fundamental bagi Indonesia untuk dapat bersaing dengan negara-negara lain. Pernyataan Presiden menegaskan, infrastruktur dan SDM merupakan faktor utama produktivitas nasional. Semua unsur bangsa harus menyadari pentingnya produktivitas dalam setiap kegiatannya.
Indonesia punya Lembaga Produktivitas Nasional (LPN) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 13/2003 (Pasal 30) serta Perpres No 50/2005. LPN mempunyai tugas memberikan saran dan pertimbangan kepada presiden dalam perumusan kebijakan nasional di bidang produktivitas dan peningkatan produktivitas dalam rangka penguatan daya saing nasional.
Fungsinya antara lain pengembangan budaya produktif dan etos kerja; pengembangan jejaring informasi peningkatan produktivitas; pengembangan sistem dan teknologi peningkatan produktivitas; peningkatan kerja sama di bidang produktivitas dengan lembaga atau organisasi-organisasi internasional.
Namun, sejauh ini, banyak hal terkait tugas dan fungsi LPN yang belum sesuai harapan. Laporan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) 2017-2018, indeks daya saing global Indonesia secara umum meningkat dari peringkat 41 ke 36, tetapi masih di peringkat keempat di ASEAN di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Apabila dibedah lebih dalam setiap pilar pembentukan daya saing, peningkatan Indonesia sebagian besar tertolong oleh aspek lingkungan makroekonomi dan skala pasar (nilai 5,7 dari 7). Kedua pilar ini karena anugerah Tuhan YME di mana Indonesia diberikan sumber daya alam (SDA) yang luar biasa dan penduduk nomor empat terbesar di dunia. Karena itu, layak jika Presiden mengingatkan untuk menjadi negara maju, Indonesia tidak boleh lagi hanya bergantung pada kekayaan SDA yang dimiliki.
Sebagai introspeksi, kebesaran SDM dan SDA saja tak cukup untuk bersaing dewasa ini. Pilar yang masih jauh dari harapan dan menduduki peringkat paling lemah adalah efisiensi pasar kerja (LME) dan kesiapan teknologi (TR) (nilai 3,9 dari 7). Kedua pilar ini sangat erat dengan kesiapan SDM dalam menghadapi perubahan zaman, apalagi sekarang memasuki era digitalisasi dan ekonomi 4.0. Perubahan besar terjadi karena kecepatan urbanisasi, struktur demografi, transformasi digital, perkembangan cepat teknologi bahan baku, dan globalisasi perdagangan. Menghadapi fenomena ini membutuhkan perubahan paradigma dan etos kerja semua unsur bangsa.
LME masih lemah, tecermin dari masih tingginya biaya-biaya yang tak perlu/redundancy cost (peringkat ke-133) dan rendahnya partisipasi perempuan dalam angkatan kerja (peringkat ke-113). Indonesia masih berkutat dengan upah minimum dan tumpang tindih biaya terkait ketenagakerjaan, sementara negara lain sudah memikirkan upah berdasarkan produktivitas, otomatisasi, dan transformasi digital. Perangkat regulasi juga tertinggal menghadapi kecepatan perubahan sehingga terkadang timbul masalah dan konflik kepentingan saat digitalisasi diterapkan.
Kondisi TR juga tak jauh berbeda dengan LME. Dari sembilan variabel, dua di antaranya belum cukup optimal. Variabel pengguna internet hanya menempati urutan ke-109, sementara jumlah pelanggan internet fixed-broadband urutan ke-103. Ini terkait pembangunan infrastruktur dan keterbukaan teknologi.
Untuk produktivitas tenaga kerja (2017), di Asia Indonesia harus puas di peringkat ke-10 di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Produktivitas jam kerja di Asia menunjukkan hal yang senada, Indonesia menempati peringkat ke-10 dengan capaian 13 dollar AS per jam per tenaga kerja, jauh di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Solusi produktivitas
Baru-baru ini, Presiden Jokowi menginstruksikan kepada menteri terkait untuk memperluas cakupan program pemagangan nasional dan meningkatkan pendidikan vokasi dengan harapan SDM Indonesia siap menghadapi dunia kerja. Ini hanya sebagian kecil dari tindakan nyata untuk memperbaiki produktivitas. Perlu gerakan lebih holistik untuk mengatasi ketertinggalan.
Pertama, menghidupkan kembali Gerakan Peningkatan Produktivitas Nasional (GPPN). Ini bukan hal baru karena sejak Orde Baru sudah pernah dicanangkan, tetapi pasang surut ditelan zaman. Dalam rangka terlaksananya GPPN secara holistik, berkelanjutan, dan terintegrasi sebagaimana amanat Nawacita butir 6, ”Meningkatkan Produktivitas Rakyat dan Daya Saing di Pasar Internasional”, perlu dibuat payung hukum sebagai acuan semua pihak (pemerintah, dunia usaha, dunia pendidikan/profesi, dan masyarakat). LPN merekomendasikan diterbitkan instruksi presiden sebagai tahap awal agar bisa didukung semua unsur, dan diharapkan dengan budaya ”paternalis” akan tumbuh ”budaya produktivitas” di masyarakat.
Kedua, pengembangan jejaring kelembagaan GPPN sebagai sarana komunikasi dan promosi keberhasilan budaya produktivitas. Dunia pendidikan menjadi bagian jejaring wajib memasukkan kurikulum produktivitas mulai pendidikan dasar, sesuai harapan Presiden mempersiapkan SDM sejak dini.
Ketiga, sistem pengupahan berdasarkan produktivitas (SPBP) dan sistem bagi hasil produktivitas (SBHP) harus diadopsi seperti di beberapa negara maju. Hal ini mendorong ekonomi berkeadilan agar pekerja mendapatkan pendapatan lebih besar, serta dunia usaha menghasilkan barang dan jasa dengan biaya per unit lebih murah.
Keempat, pemerintah memberi contoh apresiasi atas keberhasilan produktivitas. Salah satu yang telah dilakukan misalnya penganugerahan Paramakarya bagi dunia usaha yang menerapkan budaya produktivitas, perlu dilakukan lebih luas dan berkelanjutan. Kelima, perhatian akan produktivitas serta kesadaran pentingnya produktivitas untuk mengatasi ketertinggalan harus diprioritaskan. LPN sebagai motor penggerak dan juga sarana serta prasarananya perlu direvitalisasi agar LPN dirasakan milik semua, bukan hanya milik satu kementerian.
Adhi S Lukman Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia; Anggota Tim Kerja Lembaga Produktivitas Nasional